Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sindir Dinasti Politik Melalui Rekayasa Hukum, Mahfud MD: Jorok Kalau Dilakukan

Hanya saja yang menjadi masalah adalah ketika untuk sebuah kebutuhan dinasti politik akhirnya merekayasa hukum yang berlaku.

Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Sindir Dinasti Politik Melalui Rekayasa Hukum, Mahfud MD: Jorok Kalau Dilakukan
YT Mahfud MD Official
Cawapres nomor urut tiga, Mahfud MD mengisi hari ke-57 kampanye Pilpres 2024 dengan menghadiri acara 'Tabrak Prof' di kafe Kopi Borjuis di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (23/1/2024). 

TRIBUNNEWS.COM, LAMPUNG - Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 3, Mahfud MD mengatakan, fenomena dinasti politik sebenarnya hampir terjadi di semua negara.

Hanya saja yang menjadi masalah adalah ketika untuk sebuah kebutuhan dinasti politik akhirnya merekayasa hukum yang berlaku.

Hal itu dikatakan Mahfud saat menjawab pertanyaan mengenai Mahkamah Konstitusi (MK) yang pernah membatalkan tentang pasal dinasti politik saat gugatan atas Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota atau yang dikenal dengan UU Pilkada, pada acara “Tabrak Prof!” di Bento Kopi, Kota Bandar Lampung, Lampung, Kamis (25/1/2024) malam.

Baca juga: Mensesneg Belum Terima Surat Pengunduran Diri Mahfud MD Sebagai Menko Polhukam

“Yang jadi masalah kalau untuk memenuhi kebutuhan dinasti politik itu, melakukan rekayasa hukum terhadap hukum yang berlaku, sehingga yang tidak boleh dilakukan, lalu dilakukan menggunakan pendekatan-pendekatan yang kasar,” katanya.

Mahfud menambahkan, saat uji materil UU Pilkada, dirinya sudah tidak menjabat sebagai Ketua MK. Saat itu Ketua MK dijabat oleh Patrialis Akbar. Adakalanya, lanjut dia, dinasti politik itu tidak lagi menjadi objektif untuk kepentingan rakyat.

Dijelaskannya, kemudian muncul langkah-langkah dari seorang yang menjadi induk dari dinasti politik tersebut, untuk melakukan pemenangan atas dinastinya sendiri.

Baca juga: Pengamat Sebut 2 Alasan Mahfud MD Belum Benar-benar Mundur dari Menko Polhukam

“Itu yang tidak boleh, dan itu sebenarnya jorok kalau dilakukan oleh pemerintah sebesar negara kesatuan Republik Indonesia ini,” paparnya.

Berita Rekomendasi

Pada sidang uji materil UU Pilkada 2015 silam, yakni Pasal 7 huruf r yang terkait dengan syarat yang melarang bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/perkawinan dengan petahana.

Menurut MK, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 i ayat (2) UUD 1945. Selain itu, MK melihat Pasal 7 huruf r juga memicu rumusan norma baru yang tidak dapat digunakan karena tidak memiliki kepastian hukum.

MK menyadari, dilegalkannya seseorang yang memiliki hubungan darah/perkawinan dengan kepala daerah dapat membuat politik dinasti. Namun, hal itu tidak dapat dijadikan alasan. Lantaran ada UUD yang mengatur supaya tidak terjadi diskriminasi, apabila dipaksakan justru terjadi inkonsistusional.

Dalam pasal 7 dijelaskan cara menjadi pemimpin daerah itu seseorang yang mempunyai hubungan darah atau konflik kepentingan dengan petahana tidak diperbolehkan maju menjadi pemimpin daerah.

Baca juga: Drone Emprit: Gibran Banjir Sentimen Negatif di Sosmed usai Gimik Celingukan Cari Jawaban Mahfud MD

Ada pun yang dimaksud 'tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana' adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas