Tanggapi Kemampuan Gibran Ubah Kritikan-Hinaan Jadi Guyon, Pengamat Singgung Kemiripan dengan Jokowi
Kebiasaan Gibran meladeni kritikan dan mengubah hinaan dan kritikan menjadi hal ringan. Pengamat menyinggung kemiripan dengan Jokowi.
Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Pengamat psikologi politik dari Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Moh Abdul Hakim memberikan pandangannya terkait kebiasaan calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka meladeni kritikan dan hinaan menjadi sesuatu yang ringan.
Menurut Hakim, apa yang dilakukan Gibran dinilai mampu menarik segmentasi masyarakat kaum muda.
Seperti akun media sosial Gibran, terutama X (Twitter) yang aktif untuk merespons kritikan dari masyarakat.
Hakim menilai, Gibran memiliki formula dalam hal itu.
"Cara yang dilakukan Gibran adalah mengkonversi cibiran itu menjadi sesuatu yang tidak serius atau guyon," ungkap Hakim dalam program talkshow Tribunnews dengan tema 'Gimik Gibran Tuai Cibiran', Kamis (25/1/2024).
Termasuk dalam Pilpres 2024, kritikan kepada Gibran yang salah menyebut asam folat menjadi asam sulfat, yang kemudian menjadi akronim Samsul, malah diubah Gibran menjadi 'bahan' menggaet elektoral.
Samsul bahkan menjadi nama punggung yang tercantum pada jersey yang dikenakan Gibran saat sepakbola, beberapa waktu lalu sekaligus masuk dalam bahan kampanye.
"Gibran punya strategi sendiri untuk mengkonversi ini sebagai it's just a joke, ini adalah hiburan."
"Dan selama ini sejak di (Wali Kota) Solo saya kira kemampuan ini yang menyelamatkan dia dari jebakan-jebakan politik di tengah jalan," ungkapnya.
Baca juga: Gibran di Hadapan Ribuan Warga Brebes: PKH, KIS, KIP Lanjut, Kartu Tani Dihilangkan!
Warisi Satu Hal dari Jokowi
Lebih lanjut Hakim menilai Gibran mewarisi satu hal dari ayahnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hal yang dimaksud ialah kemampuan berinteraksi dengan konstituennya.
"Saya lihat Gibran mewarisi satu hal yang dimiliki Pak Jokowi, tetapi dalam generasi yang berbeda."
"Kelebihan Pak Jokowi, bisa berbicara dengan konstituennya, yaitu bukan orang yang berpendidikan S3, orang kampus atau aktivis, tetapi orang yang setiap hari berkutat dengan mencari nafkah, memenuhi kebutuhan keluarga, dan seterusnya," ungkapnya.
Walaupun dalam forum-forum formal, lanjut Hakim, sering kali orang melihat Pak Jokowi kurang mampu menunjukkan kemampuan beretorika.
"Itu juga diwarisi Gibran dalam cara yang berbeda. Gibran ini mampu berbicara dalam segmen pemilih yang mendukung dia, yaitu kelompok anak muda, atau kelompok para pemilih yang tidak suka berbicara banyak tentang politik dan tidak tertarik seluk-beluk atau substansi politik," urai Hakim.
"Kalau kita lihat survei dan kajian yang menjadi buku dari Saiful Munjani dan Burhanuddin Muhtadi, pasca-reformasi itu kultur politik pemilih Indonesia itu cenderung semakin tidak serius, semakin apatis terhadap diskusi-diskusi yang sifatnya kebijakan."
"Dan Gibran muncul pada momen yang tepat, dan menggunakan bahasa yang mudah dipahami kelompok ini, dan teknik-teknik dia menyerap kritik dengan mengkonversi menjadi sesuatu yang menghibur lebih mengena ke kelompok yang cenderung nirpolitik," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.