Ratu Wulla Mundur Jadi Caleg NasDem Meski Raih Suara Tertinggi, Formappi Duga Ada Tekanan
Formappi menilai ada sesuatu yang aneh dan janggal dalam keputusan caleg NasDem Ratu Ngadu Bonu Wulla yang mundur padahal sudah meraih suara tertinggi
Penulis: Reza Deni
Editor: Wahyu Aji
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai ada sesuatu yang aneh dan janggal dalam keputusan caleg NasDem Ratu Ngadu Bonu Wulla yang mundur padahal sudah meraih suara tertinggi di dapilnya di NTT.
Peneliti Formappi Lucius Karus mengatakan aneh keputusan itu karena sangat terlambat
"Ketika tahapan sudah dilalui begitu panjang hingga akhirnya mau selesai baru memilih mundur. Kenapa enggak dari awal-awal atau tengah-tengah proses gitu?" kata Lucius dalam pesan yang diterima, Kamis (14/3/2023).
Lucius menilai kejanggalan lainnya dari keputusan Ratu yang mundur karena Ratu mengundurkan diri setelah ada kepastian menjadi pemenang atau peraih kursi mewakili Nasdem.
"Kalau saja misalnya pengunduran diri itu merupakan ekspresi kekecewaan karena dicurangi sehingga kalah, ya mungkin masih bisa dipahami. Lah ini, sudah pasti kok menjadi peraih suara terbanyak diantara rival separtai, dan jumlah suara itu membuka jalan menggenggam satu kursi di DPR, kok mundur? Di situlah kejanggalannya," kata dia.
Diketahui, Ratu mundur dengan perolehan suara tertinggi di dapilnya yakni 76.331 suara.
Dengan kata lain, Lucius menilai keputusan yang janggal itu tampaknya tak bisa dijelaskan dengan aksi mengundurkan diri.
"Langkah pengunduran diri Ratu hanya mungkin disebabkan oleh hal di luar kapasitas pribadinya, sesuatu yang menyangkut kekuatan kuasa yang memaksanya. Jadi nampaknya pengunduran diri ini adalah bahasa diplomatis dari kejadian sesungguhnya yang mungkin saja bisa berupa perintah partai, tekanan elit partai," kata dia
Lucius menduga ada kebijakan parpol yang dengan sadar memutuskan penggantian Ratu Wulla dengan figur lain yang disukai parpol.
"Sesungguhnya sistem kita memang memberikan kuasa tanpa batas kepada parpol untuk mengendalikan kadernya. Parpol dengan seribu satu alasan bisa mencabut mandat seseorang yang terpilih secara langsung di pemilu. Ini umum terjadi pada anggota legislatif yang sedang menjabat," kata Lucius
"Yang baru dari kasus Ratu ini karena parpol memperlihatkan kekuasaan mutlaknya pada kader justru di proses pemilu yang hampir berakhir. Bertambah aneh karena pencabutan mandat itu justru dilakukan terhadap kader yang jelas-jelas berhasil mendapatkan dukungan suara pemilih, sekaligus membantu parpol menambah koleksi kursi di parlemen," ujarnya.
Mestinya, dikatakan Lucius, kader seperti Ratu Wulla harus diapresiasi parpolnya, bukan justru disingkirkan.
Inilah ironi luar biasa dari kasus Ratu Wulla ini. Ironi ini jelas menyakitkan buat pemilih yang telah memberikan kepercayaan melalui suara mereka di TPS kepada Ratu Wulla. Rakyat yang memercayakan mandat me-reka kepada Ratu Wulla akhirnya harus berhadapan dengan kekuasaan parpol yang justru mengabaikan Ratu Wulla untuk meloloskan yang lain," pungkas Lucius.