Pengamat Nilai Koalisi Semi Permanen Dibutuhkan untuk Wujudkan Cita-cita Indonesia Emas 2045
mayoritas masyarakat sebesar 75,8 persen mendukung agar koalisi pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memiliki koalisi semi permane
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik sekaligus peneliti senior Populi Center Usep Saepul Ahyar merespons hasil survei dari LSI Denny JA, yang menyatakan mayoritas masyarakat sebesar 75,8 persen mendukung agar koalisi pemerintahan calon presiden dan calon wakil presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memiliki koalisi semi permanen minimal selama 20 tahun yakni 2024-2045.
Menurut dia, koalisi semi permanen dibutuhkan untuk melanjutkan kebijakan strategis pemerintah dalam rangka mendorong dan mewujudkan cetak biru Indonesia menjadi negara maju atau menyongsong Indonesia Emas 2045.
“Survei itu kan persepsi masyarakat yang saya kira juga didasarkan mungkin pada pemikiran bahwa koalisi semi permanen itu untuk kontinuitas program atau kontinuitas menjalankan hal yang sifat strategis atau untuk hal-hal manajemen strategis sampai 2024, sehingga tidak bongkar pasang,” kata Usep, dalam keterangannya Senin (25/3/2024).
Usep mengatakan kebiasaan pemerintah ketika ganti pucuk pimpinan pemerintah maka akan ganti pula kebijakan yang diambil sehingga pembangunan tidak berjalan secara berkelanjutan.
“Kebiasaan di kita begitu ganti jabatan ganti pejabat kemudian diubah tidak ada kontinuitas pembangunan padahal yang namanya pembangunan itu atau saat membangun peradaban atau infrastruktur saya kira butuh kontinuitas,” ujar dia.
Usep mencontohkan program pemindahan ibu kota IKN itu tidak bisa dikerjakan dalam satu periode yang hanya 5 tahun tetapi harus juga konsisten dikerjakan.
Meskipun IKN sudah menjadi amanat undang-undang tetapi tetap saja IKN akan berpotensi terhenti jika pemerintah penggantinya tidak memprioritaskan bisa beralasan keterbatasan anggara sehingga lebih mengutamakan kebijakan lain.
“Misalnya IKN, saya kira juga tidak bisa dibangun hanya satu rezim saja tapi juga dibangun oleh rezim yang lain baru bisa tercapai, kalau tidak misalnya prioritasnya sudah berbeda satu pemerintahan dengan pemerintahan yang lain mungkin fokusnya juga berbeda, jadi walaupun amanat undang-undang tetapi kan ada juga capres yang kemarin ingin mengubah atau mengoreksi,” kata dia.
Usep menilai koalisi semi permanen pemerintahan Prabowo-Gibran juga dipercaya akan lebih gemuk dari pada yang oposisi.
Dia bercermin dari pilpres sebelumnya baik PKB, PPP, Nasdem yang saat ini masih di luar Koalisi Indonesia Maju (KIM) diperkirakan akan merapat ke pemerintah kecuali kemungkinan besar PDIP dan PKS yang tetap berada di luar pemerintah.
“Karena hanya ada beberapa yang punya tradisi agak kuat menahan lapar di luar pemerintahan yang sudah terbukti kayak PDI Perjuangan itu pernah 10 tahun zaman SBY dia bertahan di luar dan mendapatkan simpati yang bagus di masyarakat, lalu PKS juga di masa pemerintahan Jokowi selain itu saya kira tidak tahan godaan-godaan kekuasaan,” ucapnya.
“PKB, PPP sama Nasdem juga belum pernah berada di luar pemerintah jadi selain dua itu saya kira potensinya sangat besar walaupun yang dua itu juga PKS, PDIP juga masih kemungkinan gabung karena pergaulan yang panjang juga dengan presiden terpilih Pak Prabowo,” imbuhnya.
Namun Usep berharap meskipun nantinya terjadi koalisi pemerintahan yang gemuk dan semi permanen, harus tetap ada pihak oposisi yang mengontrol jalannya pemerintahan agar terjadi check and balances.
Baca juga: Sindiran Balik dari NasDem, PKB dan PKS Respons AHY Sebut Hancur Lebur Jika Masih di Tempat Lama
“Tapi jangan lupa ya demokrasi itu atau membangun koalisi semi permanen itu jangan sampai mematikan koalisi sehingga semuanya di satu sisi saja, justru adanya partai-partai itu untuk mengakomodasi berbagai kepentingan di masyarakat atau mengakomodasi kemajemukan di masyarakat baik kemajemukan latar belakang ataupun kemajemukan kepentingan,” ucapnya.
“Jangan sampai akhirnya status quo jadi tidak ada check and balances, harus ada koalisi oposisi yang juga tetap mengontrol jalannya pemerintah jalannya eksekutif,” tandasnya.