Guru Besar, Pengamat & BRIN Bicara soal Pemilu 2024: Keruntuhan Wibawa MK hingga Cawe-cawe Penguasa
Busyro menyebut prinsip kompetensi, kapasitas, integritas dan profesionalitas sebagai standar memimpin Indonesia dinistakan melalui putusan MK.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah menggelar Sidang Pendapat Rakyat untuk Keadilan Pemilu 2024 di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (19/4/2024).
Sidang dihadiri secara langsung oleh guru besar Universitas Airlangga sekaligus Ketua KPU RI 2004-2007 Prof Ramlan Surbakti, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Prof Sulistyowati Irianto, Pemikir Kebhinekaan, Dr. Sukidi serta Siti Zuhro dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sekaligus PP Muhammadiyah.
Sementara itu, Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas bersama Guru Besar Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar hadir secara daring dalam sidang tersebut dari Yogyakarta.
Busyro dalam sidang mengungkapkan saat ini terjadi keruntuhan wibawa Mahkamah Konstitusi (MK) setelah muncul putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah aturan syarat capres-cawapres.
Baca juga: PP Muhammadiyah Nilai Putusan MK soal Sengketa Pilpres Perlu Berpihak pada Etika Kenegaraan
Adapun, putusan itu belakangan membuat putra Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres mendampingi Prabowo Subianto.
"Keruntuhan kepercayaan politik terhadap MK RI akibat perkawinan politik, yaitu antara eks Ketua MK RI yang sudah dipecat dalam Putusan Nomor 90 tahun 2023. Putusan ini bukti adanya penghambaan MK RI untuk Gibran, demi cawapres," kata Busyro.
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu dalam sidang menyebut prinsip kompetensi, kapasitas, integritas dan profesionalitas sebagai standar memimpin Indonesia dinistakan melalui putusan MK.
"Prinsip kompetensi, kapasitas, integritas dan profesionalitas sesuai standar kelayakan memimpin Indonesia sebagai bangsa besar secara telanjang dinistakan dalam putusan MK tersebut. Demi penghambaan berhala politik bernama Dinasti Nepotisme Politik Keluarga Presiden," terang dia.
Selanjutnya, Busyro dalam sidang menyebut pemilu 2024 dilaksanakan dengan kecurangan sebagai dampak keterlibatan Jokowi.
"Praktik, proses, dan pelaksanaan pemilu 2024 yang penuh kekumuhan, kecurangan, keculasan, brutalitas, dan rasa malu yang ludes dampak langsung politik cawe-cawe Presiden RI," jelasnya.
Lebih jauh, Ketua Komisi Yudisial periode 2005-2010 itu berharap hakim MK bisa memutuskan Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) untuk pilpres 2024 dengan mempertimbangkan realitas sosiologis rakyat.
'Diperlukan ruh dan spirit purifikasi yuridis filosofis sebagaimana teks luhur dengan penuh adab di dalam pembukaan UUD 1945," ujarnya.
Busyro juga berharap putusan MK dalam waktu dekat bisa mengedepankan kenegarawanan dengan menganggap hasil pemilu 2024 tidak memiliki keabsahan secara etika dan moral serta politik dan hukum.
Baca juga: TKN Imbau Pendukung Prabowo-Gibran Tidak Turun ke Jalan saat Pembacaan Hasil Putusan MK
"Putusan seperti ini kelak akan mengubah situasi bangsa dari derita adab dan derita rakyat, kembali ke puncak tertinggi keadaban bangsa dan daulat rakyat yang hakiki dan sekaligus merupakan peluang emas bangkitnya public trust kepada kualitas kenegarawanan delapan hakim di MK RI," ujarnya.
Busyro mengungkapkan putusan MK yang mengedepankan kenegarawanan bisa menutup pintu radikalisme korupsi dengan mengurangi potensi nepotisme.
"Sebagai penutup saya mau menyampaikan putusan hakim yang berjiwa dan berbasis keunggulan etika merupakan refleksi keadaban pemimpin bervisi ilmuwan etis profesional dan sebagai oase di tengah padang pasir iklim kemarau panjang ilmuwan penikmat jabatan yang tandus dari ruh, nilai dan asa kerahmatan dan kebarakahan," ungkapnya.
Pemilu tak Bisa Dipandang dari Hasilnya Saja
Sementara itu, Guru Besar Universitas Airlangga, Prof. Dr. Ramlan Surbakti mengatakan penilaian beres atau tidaknya pelaksanaan pemilu Indonesia 2024 bisa mengacu pada temuan peneliti internasional menyangkut adanya manipulasi yang terjadi atau tidak.
Menurut Ramlan, seluruh proses Pemilu tak hanya melibatkan 11 tahapan aturan yang telah ditetapkan oleh penyelenggara.
Namun sejatinya bahwa proses Pemilu juga melibatkan jutaan orang, tidak hanya pemilih, calon dan pendukungnya.
Tapi juga menyita anggaran besar negara yang ditaksir hingga ratusan triliun rupiah.
Bahkan, disimpulkan proses penyelenggaraan Pemilu itu memerlukan pengorganisasian warga negara terbesar satu negara dan pengadaan besar logistik pemilu.
Baca juga: MK Diharap Pertimbangkan Psikologis Rakyat dalam Putuskan Hasil Sengketa Pilpres 2024
Sehingga, Ramlan mengingatkan bahwa Pemilu tak bisa dipandang dari hasilnya saja.
Tapi justru proses Pemilu itu sendiri yang harus dilihat sebagai suatu hal penting demi menjaga demokrasi.
"Karena itu menilai Pemilu 2024 (tidak) hanya dari hasilnya saja itu menurut saya (jauh) dari hakekat pemilu sendiri sebagai salah unsur dari demokrasi dan demokrasi perwakilan," tegas Ramlan.
Lebih lanjut, Ketua KPU RI periode 2004-2007 pun memotret bagaimana proses penyelenggaran Pemilu 2024 yang terjadi baru-baru ini.
Dia kemudian mengingat proses pengadilan Pemilu di Malaysia dan saat itu menggunakan buku yang ditulis Prof. Sarah Beards tentang Elektoral Malapraktik atau Malapraktik Pemilu.
Di mana, kata Ramlan, terungkap tiga tipologi Malapraktik. Yakni, pertama, manipulasi hukum pemilu. Kedua, manipulasi pilihan pemilih. Dan ketiga, manipulasi hasil pemilu.
"Nah, kalau menggunakan teori rangka Prof. Sarah Beards ini, berarti saya menyarankan agar menilai Pemilu 2024, dalam waktu ada singkat, itu dilihat dari apakah ada manipulasi pilihan pemilih, dan manipulasi hasil pemilu. Atau dalam bahasa populernya itu, proses pemilu yang digunakan untuk menilai hasil pemilu, hasilnya itu adalah, tahapan-tahapan yang dipengaruhi langsung, hasil pemungutan suara," paparnya.
Dia pun mencontohkan, manipulasi pilihan pemilu, yakni menggunakan anggaran publik, anggaran negara untuk mempengaruhi pilihan, menggunakan aparat negara apa itu TNI-Polri & ASN.
Bahkan memberikan atau menjanjikan uang dan atau materi, sembako, untuk mempengaruhi pemilu.
"Itu akan mempengaruhi, dan aparat memberikan ancaman terhadap pemilih. Itu menurut saya harus diperhitungkan, karena langsung mempengaruhi pilihan Pemilu. Akhirnya pemilu tidak bisa memberikan suara sesuai dengan pilihan hatinya. Tapi karena uang, ancaman aparat dan sebagainya," terangnya.
Proses Sidang Sengketa di MK Harus Memenuhi Tiga Unsur
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia (UI) Prof. Sulistyowati Irianto menilai sidang sengketa pemilu yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan ajang untuk menguji apakah Indonesia masih negara yang memegang asas hukum.
"Sidang MK bagi saya bukan sekadar sidang mengadili perselisihan pemilu tapi sidang apakah negara hukum Indonesia masih bisa berlangsung," kata Sulistyowati.
Menurut Sulistyowati, proses sidang sengketa di MK ini harus memenuhi tiga unsur jika Indonesia masih mematuhi konstitusi yang berpihak kepada rakyat.
Unsur pertama, yakni persidangan di MK harus menghasilkan putusan yang jelas sehingga dapat dimengerti seluruh masyarakat.
Kedua, putusan haruslah bisa diperkirakan masyarakat berdasarkan dinamikanya persidangan. Dengan demikian, putusan tidak terkesan diatur oleh pihak tertentu.
"Tidak berdasarkan kehendak perorangan, kita lihat debat-debat di MK, bagaimana analisisnya yang kita harapkan pertimbangan putusan keluar dengan seusianya yang kita saksikan bersama," jelas Sulistyowati.
Unsur terakhir, lanjutnya, MK harus menjadi badan independen yang dapat memisahkan antara kekuasaan dan penegakan hukum.
Hal tersebut akan terlihat dari putusan hukum yang akan diproduksi MK dalam sengketa pemilu tahun ini.
Di sini, lanjutnya, para hakim MK harus membuat putusan dengan ideal dan berlandaskan hukum tanpa adanya tekanan dari pihak manapun.
Sehingga, masyarakat pada akhirnya akan tetap mempercayai MK sebagai garda terakhir dalam mencari keadilan.
"Hakim MK sebagai guardian punya kewenangan besar untuk memastikan meskipun langit runtuh, Konstitusi Indonesia harus tetap tegak," tegas Sulistyowati.
Pemilu 2024 Amat Mengkhawatirkan
Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik LIPI dan Peneliti Utama Politik BRIN, Siti Zuhro menilai bahwa Pemilu 2024 merupakan salah satu pemilu terburuk sepanjang sejarah RI.
Siti Zuhro bahkan menyebut, selama Indonesia berdiri, baru kali ini ada pemilu yang membahayakan NKRI.
"Pengalaman 6 kali era revormasi sejak pemilu pertama kali sejak tahun 1999 sampai 2024. Pemilu 2024 ini merupakan pemilu yang sangat amat mengkhawatirkan dan membahayakan NKRI," kata Siti Zuhro.
Siti Zuhro menyebut, bagian yang paling mengkhawatirkan adalah soal cawe-cawe penguasa yang ingin melanggengkan kekuasaan, sehingga berbagai cara pun dilakukan.
"Karena ada cawe cawe yang luar biasa dari penguasa. Melakukan intervensi politik ke semua stakeholder terkait pemilu. Mulai penyelenggara instansi penegak hukum, birokrasi sampai ke relawan," terangnya.
Dia tak memungkiri jika penguasa yang dimaksud bukanlah peserta pemilu 2024.
Namun, sosok penguasa tersebut memuluskan jalan salah satu paslon untuk meraup suara saat pesta demokrasi digelar.
"Penguasa memang bukan incumben yang sedang mencalonkan diri tapi justru cawe cawenya jauh luar biasa dari incumben ketika mencalonkan dirinya tahun 2019. Mengapa? Karena dalam konteks ini, nepotisme lebih memberikan peran yang luar biasa kepada penguasa untuk memenangkan anaknya sendiri," beber Siti Zuhro.
"Kata kuncinya sangat jelas yaitu maintaning power, atas nama lanjutkan kekuasaan yang ada, maka tidak bisa dirinya sendiri 3 periode, yang ada adalah anaknya pun harus jadi," tegas dia.
Demokrasi Sudah Keluar dari Jalurnya
Dalam kesempatan yang sama, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid menyampaikan pendapatnya soal kondisi kekinian demokrasi Indonesia.
Menurutnya, demokrasi dewasa ini justru sudah keluar jauh dari jalurnya lantaran berjalan tanpa mengindahkan etika.
"Bisa jadi demorkasi yang sering sampai pada telinga kita bukan demokrasi yang substantif, etika digadaikan, bahkan politik uang merajalela, politik dinasti kalau kita lihat dari berbagai juru yang lain menyampaikan juga secara terang-terangan ditampilkan dipertontonkan, mobilisasi sumber daya negara untuk kepentingan kelompok tertentu," kata Fathul.
"Jadi demorkasi yang ada bukan demokrasi yang substantif, ada yang menyebut sebagai demokrasi prosedural semuanya terlihat baik-baik saja di permukaan tetapi kenyataannya tidak demikian," sambungnya.
Melihat fenomena demokrasi di Indonesia saat ini, bagi Fathul, sama seperti istilah yang pernah disampaikan Profesor Bidang Ilmu Politik dari University Of London William Davis sebagai demokrasi perasa.
"Dalam demokrasi yang seperti ini perasaan sangat mendominasi keputusan. Dan kita khawatir bahwa perasaan publik Indonesia sedang dimainkan, dimanipulasi dengan beragam cara salah satunya dengan memutarbalikan fakta dan informasi di lapangan."
"Muncul kemudian otokrat-otokrat informasi yang menjadi penjaga gerbang yang itu ditujukan untuk kepentingan kelompok tertentu dan kepentingan jangka pendek yang lagi-lagi mengabaikan kepentingan bangsa indonesia untuk jangka yang sangat panjang," jelas dia.
Hakim MK Harus Menyelamatkan Demokrasi
Pemikir kebhinekaan Sukidi menitipkan harapan kepada hakim Mahkamah Konstitusi (MK) bisa menyematkan demokrasi di Indonesia dari kematian.
Dia menyebut, para hakim MK mengedepankan kenegarawanan dalam memutuskan perkara Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) untuk pilpres 2024.
"Yang Mulia hakim MK, saya sebagai Warga Negara Indonesia menitipkan suatu harapan biar seluruh hakim MK dijiwai spirit kenegarawanan untuk menyelamatkan konstitusi dan demokrasi dari kerusakan dan kepunahan," kata Sukidi.
Dia menyebut para hakim MK sebagai penjaga konstitusi, punya amanah mulia untuk menjaga peraturan negara dari kerusakan yang makin parah.
"Kerusakan konstitusi itu tercermin pada proses legitimasi nepotisme yang terjadi di MK itu sendiri, karena itu Yang Mulia saya mengajak kepada Yang Mulia untuk kembali ke jalan yang lurus, jalan siritolmustakim yang diridai Tuhan untuk menegakan kembali muruah MK untuk menegakan konstitusi yang memberikan asas kemanfaatan bagi seluruh rakyat Indonesia," paparnya.
Sukidi juga berharap para hakim MK dalam memutuskan hasil PHPU untuk pilpres 2024 bisa mengurai akar masalah secara komprehensif.
Menurut dia, akar masalah dalam pilpres 2024 sudah diuraikan oleh putri Proklamator RI Soekarno atau Bung Karno, Megawati Soekarnoputri, yakni penyalahgunaan kekuasaan oleh pemimpin negara.
"Akar masalah pilpres adalah apa yang disuarakan oleh putri Proklamator RI dan pendiri RI Megawati Soekarnoputri sebagai nepotisme dan dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden. Inilah akar masalah utama yang disuarakan secara jernih oleh Bu Megawati. Nepotisme dan dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden," ujarnya.
"Putusan MK nomor 90 tahun 2023 adalah praktik nepotisme yang melibatkan Ketua MK, Presiden dan putra mahkotanya," sambung Sukidi.
Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah itu melanjutkan praktik nepotisme oleh Jokowi sebenarnya melanggar TAP MPR Nomor 9 Tahun 1998, melanggar UU Nomor 28 Tahun 1999, dan TAP MPR Nomor 8 Tahun 2001 yang menuntut penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN.
"Atas dasar itu, presiden patut diduga kuat telah melanggar konstitusi, yaitu sumpah dan janji presiden untuk memegang teguh UUD dan menjalankan segala UU dan peraturannya dengan segala rules sesuai UU 1945 pasal 9. Pelanggaran atas sumpah dan janji presiden yang termaktub dalam konstitusi adalah bentuk pelanggaran konstitusional yang berimplikasi pada keharusan adanya proses pemakzulan presiden," kata Sukidi.
"Nepotisme itu bukan hanya pelanggaran terhadal kontutusi atau ketetapan MPR, tetapi juga pelanggaran terhadap sumpah presiden untuk selalu menjujung tingggi uu dan segala peraturannya," pungkasnya. (Tribun Network/Yuda)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.