Sidang Pendapat Rakyat untuk Keadilan Pemilu Poros Jakarta-Yogyakarta Catat Titik Lemah Pemilu 2024
Majelis hakim perlu segera menyerukan sanksi diskualifikasi pada peserta pemilu yang terbukti melanggar aturan hukum dan asas penyelenggaraan pemilu.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah dan Yayasan Kebajikan Publik (Public Virtue Research Institute) menggelar Sidang Pendapat Rakyat untuk Keadilan Pemilu di kawasan Menteng Jakarta Pusat, Jumat (19/4/2024) siang.
Berdasarkan undangan yang diterima sedianya sidang tersebut digelar di Aula lantai 6 Masjid At Tanwir Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah di Menteng Jakarta Pusat.
Namun acara bergeser ke gedung yang berada tepat di sampingnya.
Sidang tersebut merupakan rangkaian dari sejumlah sidang yang juga digelar oleh kelompok masyarakat sipil di beberapa wilayah di Indonesia.
Baca juga: Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Yusril Klaim Tak Ada Bukti Kuat Prabowo-Gibran Curangi Pilpres 2024
Acara yang digelar secara hybrid tersebut berlangsung selama kurang lebih dua jam.
Terdapat delapan tokoh yang menyampaikan pendapatnya terkait jalannya Pemilu 2024 meskipun sedianya ada sembilan nama yang tertera dalam undangan.
Mereka yang menyampaikan pendapatnya secara langsung dari Jakarta yakni Pemikir Kebhinekaan Dr. Sukidi, Guru Besar Universitas Airlangga sekaligus Ketua KPU RI 2004-2007 Prof Dr. Ramlan Surbakti, Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik LIPI dan Peneliti Utama Politik BRIN Prof. Dr. Siti Zuhro, dan Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, MA. Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia.
Sedangkan empat orang lainnya menyampaikan pandangannya secara daring dari Yogyakarta yakni Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr. Busyro Muqoddas, M.Hum, Guru Besar Hukum Tata Negara UGM Yogyakarta Prof. Dr. Zainal Arifin Mochtar, Rektor UII Yogyakarta Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D, dan Ilmuwan Politik UMY Bambang Eka Cahya Widodo, S.IP., M.Si.
Sidang tersebut dipimpin Guru Besar Universitas Airlangga sekaligus Ketua KPU RI 2004-2007 Prof Dr. Ramlan Surbakti yang ditunjuk memimpin jalannya sidang oleh para ahli yang bertugas sebagai panelis tersebut.
Kedelapan ahli dan pakar tersebut kemudian menyampaikan pandangannya satu per satu mengenai proses pemilu 2024 baik di atas podium maupun di luar podium.
Apabila dirangkum, pandangan yang mereka kemukakan di antaranya menyangkut kekhawatiran akan nasib demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia akibat proses Pemilu 2024 yang dinilai bermasalah hingga tawaran rekomendasi yang mungkin dilakukan untuk memperbaiki kondisi tersebut.
Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dr. phil. Ridho Al-Hamdi, S.Fil.I., M.A. dalam bagian penutup pengantarnya menyatakan masyarakat menuntut keadilan Pemilu dari apa yang telah disampaikan.
Baca juga: Kunjungi Prabowo di Kemhan, Mantan PM Inggris Tony Blair Ucapkan Selamat atas Pilpres: Fantastis
Pihaknya menyadari proses persidangan atas perselisihan tentang hasil pemilu yang berlangsung di MK hampir selesai.
Pada Senin 22 April 2024 mendatang, Benteng Terakhir Konstitusi (MK) tersebut akan membacakan putusan.
"Akankah keadilan pemilu yang kami harapkan untuk terwujud menjadi kenyataan? Kami sebagai bagian dari komponen rakyat dan bangsa Indonesia ingin menuntut keadilan pemilu pada pimpinan dan seluruh anggota majelis hakim MK melalui sebuah sidang pendapat rakyat yang terhormat," kata dia yang hadir secara daring.
"Kami memohon agar para Majelis Hakim Sidang Pendapat Rakyat ini menyerukan para Ketua dan Anggota Majelis Hakim di MK memiliki keberanian dan hati nurani untuk secara sungguh-sungguh mempertimbangkan dijatuhkannya putusan serta sanksi yang seadil-adilnya atas dugaan kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu 2024," sambung dia.
Ia menyatakan Majelis Hakim Sidang Pendapat Rakyat yang terhormat perlu segera menyerukan sanksi diskualifikasi pada peserta pemilu yang terbukti melanggar aturan hukum dan asas-asas penyelenggaraan pemilu maupun asas pemerintahan yang baik.
Pihaknya juga berharap Majelis Sidang Pendapat Rakyat tersebut mendorong Ketua dan anggota Majelis Hakim MK memusatkan perhatiannya pada keseluruhan suara-suara kritik masyarakat terhadap kebijakan dan tindakan Presiden Jokowi yang dinilai telah melakukan pelanggaran etika politik dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara maupun pelanggaran terhadap UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia.
"Majelis Hakim Sidang Pendapat Rakyat ini juga perlu meminta pertanggungjawaban konstitusional dari presiden Jokowi. Terakhir, kami mohon kepada Majelis Hakim Sidang Pendapat Rakyat ini menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya," kata dia.
Panitia juga memberikan kesempatan bertanya bagi peserta maupun awak media yang berada di ruang virtual secara daring maupun luring.
Namun demikian, kesempatan tersebut tidak digunakan hingga kesimpulan dibacakan.
Kesimpulan Sidang
Pada bagian kesimpulan, Prof Ramlan mencatat sejumlah tinjauan dari panelis di antaranya baik dari segi hukum pemilu, politik, pengalaman pemilu, keadabaan dan kebangsaan, hingga imbauan kepada para hakim konstitusi.
Menyadari keterbatasannya untuk menyimpulkan seluruh pandangan para panelis, ia mengemukakan hal-hal yang menurutnya penting untuk dicatat.
"Satu, mengapa tadi dari segi hukum banyak ditonjolkan? Karena hukum pemilu 2024 itu banyak dimanipulasi oleh Mahkamah Konstitusi. Bahkan Mahkamah Konstitusi menambah persyaratan menjadi calon presiden. Mahkamah Konstitusi berarti mengambil alih tugas DPR dan Presiden," kata dia.
"Bahkan Komisi 2 DPR juga meminta KPU untuk tidak melaksanakan Undang-Undang. Dan KPU sendiri juga membangkang terhadap putusan MK dan putusan Mahkamah Agung," sambung dia.
Hal tersebut memunculkan usulan agar proses perubahan aturan terkait pemilu tidak boleh dilakukan pada saat tahapan pemilu berlangsung.
Kalaupun perlu ada perubahan aturan dimaksud, maka harus diberlakukan pada pemilu selanjutnya.
"Maka saya terpikir, Bapak-Ibu yang dari ahli hukum, apa perlu kita merekomendasikan ketika tahapan pemilu sudah mulai itu tidak boleh peraturan mengenai pemilu. Kalau ada perubahan silakan, tapi berlaku pemilu berikutnya," kata dia.
"Karena saya lihat kacau balau pada pemilu 2024 ini karena proses (perubahan) aturan pemilu justru ketika tahapan sudah dimulai," sambung dia.
Terkait dengan aspek penegakan hukum pemilu dan penyelesaian sengketa pemilu baik proses maupun hasil, ia mencatat hal tersebut menjadi salah satu titik lemah pemilu di Indonesia.
Pengawasan pemilu, kata dia, juga gagal dilakukan meskipun anggota lembaga pengawas pemilu semakin banyak.
Ia juga mencatat adanya masukan soal persaingan dalam Pemilu agar tidak mengorbankan keadaban dan kebangsaan di Indonesia.
"Demokrasi hanya bisa bertahan kalau kebangsaan di Indonesia kuat. Demokrasi akan hancur kalau kebangsaan kita hancur," kata dia.
Ramlan juga mencatat bahwa Presiden tidak hanya bertugas sebagai kepala pemerintahan melainkan juga sebagai kepala negara.
Pada semua bentuk negara republik, kata dia, kepala negaranya adalah presiden.
"Apa bedanya dengan kerajaan? Kerajaan itu yang memiliki negara itu raja. Kalau republik, yang memiliki negara itu setiap warga negara. Karena itu kepala negara menjadi kepala negara semua warga negara. Simbol republik. Jadi cawe-cawenya jangan sampai melukai republik ini," kata dia.
"Saya usul ini, kalau nanti ada kesepakatan, supaya presiden dilarang memerintahkan TNI, Polri, ASN untuk melakukan kegiatan yang menyimpang dari tupoksinya. Karena presiden itu kan Panglima tertinggi. Presiden juga komandannya ASN. Presiden juga mengangkat Kepala Polri," sambung dia.
Menurutnya, dalam melaksanakan tugas tersrbut harus ada rambu bahwa presiden dilarang memerintahkan TNI, Polri, dan ASN untuk melakukan kegiatan yang di luar tupoksi TNI, Polri, dan ASN.
"Karena cawe-cawe kemarin itu di luar tugas TNI, Polri, dan ASN," kata dia.
Terakhir, menurutnya pemilu 2024 menurutnya tidak adil dari segi uang.
Padahal, kata dia, publik menuntut persaingan dalam kontestasi pemilu harus bebas dan adil.
Persaingan, menurutnya bisa disebut bebas kalau tidak ada intimidasi, ancaman, atau paksaan.
"Bisa disebut adil kalau satu pihak tidak menggunakan uang, barang, dan sebagainya. Sementara sebagian lagi pemain (peserta) (bertindak) sesuai dengan aturan. Itu jelas tidak adil. Persaingan yang tidak adil. Saya menilai Pemilu 2024 juga tidak adil karena ada pembagian-pembagian segala macam itu," kata dia.