Usai MK Tolak Gugatan Pilpres 2024, Todung Berharap Parpol Laksanakan Hak Angket
Ketua Tim Hukum Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis, berharap partai politik (parpol) akan menggulirkan hak angket DPR RI.
Penulis: Muhamad Deni Setiawan
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Ketua Tim Hukum Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis, berharap partai politik (parpol) akan menggulirkan hak angket DPR RI.
Hal ini disampaikan oleh Todung usai Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD terkait sengketa Pilpres 2024.
Pada kesempatan ini, ia mengutip pernyataan dari hakim MK, Saldi Isra, dalam sidang yang menyebut pemilu harus menghadirkan kesetaraan.
Saldi merupakan satu dari tiga hakim yang mengajukan dissenting opinion atau pendapat berbeda. Selain dirinya, ada Enny Nurbaningsih dan Arief Hidayat.
"Kita juga mendengar dari saudara Saldi bahwa pemilu itu mesti dirasakan pada kesetaraan, equality, ya, level playing field yang sama," tutur Todung dalam konferensi pers, Senin (22/4/2024), dilansir YouTube Kompas TV.
"Ini yang tidak terjadi sekarang ini. Jadi menurut saya, ke depan juga ini akan menjadi satu catatan yang sangat bagus."
"Nah, mudah-mudahan teman-teman dari partai-partai politik akan melakukan pekerjaan mereka, dan saya betul-betul berharap hak angket itu bisa dilaksanakan," terangnya.
Dalam gugatannya ke MK, baik Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud sama-sama meminta agar Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka didiskualifikasi dari Pilpres 2024 dan digelar pemungutan suara ulang.
Berbeda dengan Ganjar-Mahfud, Anies-Muhaimin juga memasukkan petitum alternatif, yakni diskualifikasi hanya untuk Gibran.
Namun, seluruh isi gugatan tersebut ditolak oleh MK.
Dissenting Opinion Saldi Isra
Dalam pernyataannya, Saldi menilai Pilpres 2024 telah berjalan sesuai dengan aturan dan mekanisme yang ada.
Baca juga: Haidar Alwi: Putusan MK Patahkan Tuduhan Kecurangan TSM Pilpres 2024
Meski begitu, ia menganggap bahwa tidak ada jaminan Pilpres 2024 berjalan secara jujur.
Di sini, Saldi menyinggung pemilu yang diselenggarakan ketika era Orde Baru (Orba).
"Pemilu di masa Orde Baru pun berjalan memenuhi standar mekanisme yang ditentukan dalam UU Pemilu ketika itu."
"Namun, secara empirik, Pemilu Orba tetap dinilai curang," ujarnya saat membacakan dissenting opinion, Senin.
Saldi mengatakan, seharusnya pemilu tidak hanya melampaui batas keadilan secara prosedural.
Namun, sambungnya, pemilu juga harus berjalan secara substantif.
Saldi menjelaskan, saat era Orba, pelaksanaan pemilu tidak berjalan secara adil dengan bukti adanya keberpihakan pemerintah terhadap salah satu kontestan.
Atas dasar itu, jelas Saldi, asas jujur dan adil (jurdil) tidak tercapai saat pemilu di era Orba.
Alhasil, terjadilah amandemen terkait norma dalam Pasal 22 E ayat 1 UUD 1945 yang menghendaki sebuah keadilan dan kejujuran dalam pemilu yang lebih materill.
"Jujur dan maksud yang dikehendaki bukan hanya sekedar sikap patuh pada aturan, melainkan sikap tidak berlaku curang," ujar Saldi.
Kondisi Hak Angket
Sementara itu, nasib hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan pada Pemilu 2024 masih belum menemui kejelasan.
Wacana ini awalnya dilontarkan oleh PDIP dan Ganjar Pranowo, lalu disambut beberapa partai politik dari kubu Anies-Muhaimin.
Namun, pengguliran wacana Hak Angket di DPR ini keburu redup sebelum berkembang.
Menurut, pakar hukum tata negara, Feri Amsari, hak angket memang sarat dengan nuansa politis.
Jika wacana ini redup sebelum berkembang, terangnya, maka telah terjadi transaksi politik dari para elite yang tidak diketahui publik luas.
"Tentu saja hak angket nuansanya sangat politis, kalau redup ini berarti transaksi politiknya terjadi. Itu sangat disayangkan sebenarnya."
"Sebenarnya hak angket itu jalan sebelum proses persidangan di MK," kata Feri dalam wawancara khusus dengan Tribun Network, di Studio Tribun Network, Palmerah, Jakarta Pusat, Jumat (19/4/2024).
Ia menyayangkan wacana hak angket tersebut tidak benar-benar diwujudkan.
Padahal hak angket bisa membantu membongkar berbagai kecurangan yang terjadi selama tahapan Pemilu 2024.
Pengguliran hak angket tidak direalisasikan oleh parpol-parpol koalisi kubu nomor urut 1 dan 3 karena dipandang telah terjadi pembicaraan di belakang layar.
"Karena hak angket itu forum yang bisa diikuti siapa saja untuk mengungkap sesuatu. Sayangnya itu tidak dimanfaatkan secara politik karena saya yakin ada pembicaraan di belakang layar," tuturnya.
Jika ditilik dari besarnya jumlah anggota dari partai oposisi pada kubu nomor urut 1 dan 3 yang sebanyak 334 anggota, maka pengguliran hak angket dan pembentukan panitia khusus (pansus) bisa diwujudkan.
Namun, dirinya heran hal itu tak kunjung terjadi sehingga wajar jika banyak pihak menilai, termasuk dirinya bahwa elite-elite politik negeri ini sudah menjalankan transaksi besar demi gagalnya hak angket bergulir.
"Ini mengindikasikan bahwa jangankan berkembang jadi pansus angket yang mengusulkan pun tidak terjadi, bagi saya ini transaksinya pasti sangat besar."
"Yang diajarkan guru-guru saya di kampus ada yang lain. Ayam berkokok curiga tidak berkokok curiga. Ada pembicaraan curiga, tidak ada yang berbicara lebih curiga lagi," pungkas Feri.
(Tribunnews.com/Deni/Yohanes Liestyo/Danang Triatmojo)