Potensi Pelanggaran di Pilkada Lebih Marak Dibandingkan Pileg & Pilpres, Pengamat Ungkap Penyebabnya
Pelanggaran yang banyak terjadi di pilkada masih berkutat di masalah ketidaknetralan dan politisasi terhadap aparatur sipil negara
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum pemilu Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini mengatakan potensi pelanggaran di pilkada bisa lebih marak dibandingkan saat pemilu legislatif ataupun pemilu presiden.
KPU telah menetapkan pemilihan calon kepala daerah akan berlangsung, pada November 2024 mendatang.
Titi mengatakan, lebih tingginya potensi pelanggaran di pilkada disebabkan oleh beberapa hal.
Di antaranya tingkat kompetisi di daerah sangat ketat, militansi pendukung, dan adanya ikatan pendukung dengan sosok calon yang lebih kental.
Baca juga: Anies Baswedan Kurban Sapi ke PKS, HNW Pastikan Tak ada Kaitannya dengan Pilkada Jakarta
"Tingkat kompetisi pada tingkat lokal yang sangat ketat dengan diikuti militansi pendukung yang lebih kuat. Ikatan politik di antara pendukung dengan calon yang didukung memang lebih kental terasa pada pilkada dibanding pemilu legislatif," kata Titi, saat dihubungi Tribunnews.com, Rabu (19/6/2024).
Menurut Titi, pelanggaran yang banyak terjadi di pilkada masih berkutat di masalah ketidaknetralan dan politisasi terhadap aparatur sipil negara dan kepala desa, politik uang atau jual beli suara.
Kemudian, ada juga potensi terjadinya penyalahgunaan hak pilih, baik memilih lebih dari satu kali atau mobilisasi pemilih yang tidak berhak untuk pemenangan calon tertentu, serta akurasi daftar pemilih.
"Oleh karena itu antisipasi oleh penyelenggara pemilu, khususnya pengawasan oleh Bawaslu yang intensif dan efektif menjadi sangat diperlukan," ucapnya.
Belajar dari Pilpres 2024 lalu, Titi menyinggung politisasi bantuan sosial (bansos) juga masih menjadi salah satu potensi pelanggaran yang bisa terjadi.
Di mana program dan anggaran pemerintah disalahgunakan untuk pemenangan petahana atau calon yang didukung petahana.
Baca juga: Wakil Ketua Umum PAN Sebut Situasi Pilkada Jakarta Masih Cair: Semuanya Masih Bisa Maju
Oleh karena itu, ia mengatakan, agar tidak timbul sikap permisif di kalangan pemilih, pengawasan dan penegakan hukum harus tegas mengatur soal distribusi bansos yang beririsan dengan tahapan pilkada.
"Seharusnya Kemendagri mengatur tidak boleh ada pembagian bansos yang dilakukan petahana atau pejabat berlatar belakang politik di tengah sudah dimulainya tahapan pilkada serentak 2024," kata Titi.