Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Dugaan Pencatutan NIK Dukung Dharma-Kun, Pakar Sebut Tak Ada Unsur Pidana, Hanya soal Administratif

Pakar menilai bahwa temuan dugaan pencatutan identitas warga Jakarta untuk dukungan ke Dharma-Kun merupakan ranah administratif.

Penulis: Fersianus Waku
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Dugaan Pencatutan NIK Dukung Dharma-Kun, Pakar Sebut Tak Ada Unsur Pidana, Hanya soal Administratif
Tribunnews.com
Ilustrasi KTP Elektronik. Pakar hukum pidana menyebut tidak ada unsur tindak pidana dalam kasus dugaan pencatutan NIK sebagai syarat dukungan bakal calon gubernur dan wakil gubernur Dharma Pongrekun-Kun Wardana jalur independen. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar ikut menyoroti temuan adanya dugaan pencatutan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai syarat dukungan bakal calon gubernur dan wakil gubernur Dharma Pongrekun-Kun Wardana jalur independen.

Menurut Fickar, tidak ada unsur tindak pidana dalam kasus dugaan pencatutan NIK tersebut.

"Itu soal administratif saja, tidak ada unsur pidana," kata Fickar saat dihubungi, Selasa (27/8/2024).

Fickar menjelaskan, KPU Jakarta bisa mengurangi dukungan yang diduga mencatut KTP warga Jakarta.

Baca juga: Sudah Ratusan Warga Lapor ke Bawaslu NIK-nya Dicatut Pasangan Dharma-Kun

Menurutnya, KPU bisa melihat lagi apakah calon independen itu telah memenuhi syarat atau tidak.

"Kalau calonnya tidak tahu, maka hanya dikurangi saja jumlah dukungannya. Jika masih cukup jumlah pencalonannya, bisa jalan terus. Jika mengurangi jumlah syarat pencalonan, maka akan gagal karena kurang dukungan dan tidak memenuhi syarat dicalonkan,” ujarnya.

Berita Rekomendasi

Sementara, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Faisal Santiago menilai bahwa temuan dugaan pencatutan identitas warga Jakarta untuk dukungan ke Dharma-Kun merupakan ranah administratif.

"Menurut saya ini ranah administratif, karena baru proses pencalonan sehingga KPU bisa membatalkan pencalonan calon independen. Ini buat proses pendaftaran baru ranah administrasi," imbuhnya.

Duduk Perkara Pencatutan NIK

Sebelumnya kabar dugaan pencatutan Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk mendukung pencalonan pasangan cagub dan cawagub jalur independen, Dharma Pongrekun-Kun Wardana, viral.

Dugaan ini muncul setelah KPU DKI Jakarta menggelar rapat pleno rekapitulasi dukungan bakal pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana Abyoto, untuk bertarung di Pilkada Jakarta 2024.

Berdasarkan rapat tersebut, pasangan jalur independen ini dinyatakan lolos persyaratan.

Baca juga: Soal Dugaan Pencatutan NIK KTP Warga Dukung Dharma-Kun, Sekjen PDIP: Pernah Terjadi di Solo

Mantan Gubernur DKI Jakarta sekaligus mantan calon presiden 2024, Anies Baswedan, melalui akun X-nya, mengakui NIK-nya aman dari dugaan pencatutan untuk cagub-cawagub independen, Dharma Pongrekun-Kun Wardana.

Namun demikian, beberapa anak dan kerabatnya terdaftar. Hal itu diketahui setelah dilakukan pengecekan identitas diri di situs info pemilu.

"Alhamdulillah, KTP saya aman. Tapi, KTP dua anak, adik, juga sebagian tim yang bekerja bersama ikut dicatut masuk daftar pendukung calon independen," tulis Anies, dalam unggahannya di akun X-nya, Jumat (16/8/2024).

Tak hanya Anies, beberapa warga juga mengaku menjadi korbaan dugaan pencatutan nama itu.

Salah satunya adalah Samson, seorang warga Jakarta Pusat yang akhirnya melaporkan hal tersebut ke Polda Metro Jaya.

Adapun laporan tersebut diterima kepolisian dan diterima dengan nomor LP/B/4830/VII/2024/SPKT POLDA METRO JAYA, tanggal 16 Agustus 2024. Namun, terlapor dalam hal ini masih dalam penyelidikan.

"Membuat laporan polisi terkait dengan pencatutan data nomor induk kependudukan pak Samson untuk digunakan terhadap pencalonan atau dukungan terhadap calon perseorangan individu gubernur DKI Jakarta atas nama bapak Komjen Purn Dharma Pongrekun dan wakilnya bapak Kun," kata kuasa hukum pelapor, Army Mulyanto kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Jumat (16/8/2024) malam.

Dalam laporannya, Army menyebut kliennya menyerahkan sejumlah bukti di antaranya tangkapan layar hasil pengecekan di situs KPU, identitas milik pelapor, KTP, dan lainnya.

Sementara itu, Samson selaku korban menyebut awalnya dia mengetahui adanya isu pencatutan itu dari media sosial.

Kemudian, dia mencoba mengecek di situs KPU untuk mengecek kebenaran data pribadinya turut dicatut itu.

"Saya coba cek ternyata nama saya tercatat dan di situ dalam tampilan website KPU RI itu dinyatakan bahwa saya adalah salah satu pendukung, sementara saya tidak pernah melakukan itu, itu yang menjadi keberatan saya," ungkapnya.

Setelah itu, Samson mengaku juga mengecek NIK milik istri dan anaknya. Namun beruntung data keduanya tak dicatut.

"Nah ternyata di media sosial sudah berseliweran dan banyak, bukan hanya saya, tapi berkaitan dengan itu saya kira saya juga punya kekhawatiran ini data saya darimana dia dapat dari mana, jangan-jangan sudah tersebar gitu dan mungkin bisa disalahgunakan bukan hanya untuk Pemilu tapi untuk hal-hal lain," tuturnya.

Samson merasa dirugikan karena tidak mengenal sosok Dharma Pongrekun secara pribadi maupun publik yang maju sebagai calon independen itu.

"Saya sama sekali tidak pernah kenal dengan Dharma. Timses saya juga tidak kenal," ujarnya.

Polda Hentikan Penyelidikan

Sementara itu Polda Metro Jaya resmi menghentikan penyelidikan laporan pencatutan Nomor Induk Kependudukan (NIK) warga yang digunakan untuk mendukung Bakal Calon Gubernur Jakarta independen Dharma Pongrekun-Kun Wardana.

Penghentian penyelidikan ini setelah pihak kepolisian melakukan gelar perkara pada Senin (19/8/2024).

"Forum gelar sepakat untuk menghentikan penyelidikan atas penanganan perkara a quo," kata Dirreskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Ade Safri Simanjuntak kepada wartawan, Senin.

Ade Safri mengatakan laporan terkait itu telah diatur ke dalam pasal 185A Undang Undang RI nomor : 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU nomor 1 Tahun 2015 ttg Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang Undang.

Adapun Pasal 185A berbunyi:

(1) Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan daftar dukungan terhadap calon perseorangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyelenggara Pemilihan dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana maksimumnya.

"Maka dalam penerapan penegakan hukumnya berlaku asas hukum 'Lex Consumen Derogat Legi Consumte', dimaknai perbuatan yang memenuhi unsur delik yang terdapat pada beberapa ketentuan hukum pidana khusus, maka yang digunakan adalah hukum pidana yang khusus yang faktanya lebih dominan sehingga mengabsorbsi ketentuan pidana yang lain," ucapnya.

Menurut Ade Safri, terkait laporan ini lebih tepat dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Setelahnya, laporan tersebut baru bisa ditindaklanjuti oleh polisi setelah mendapatkan rekomendasi.

"Terhadap ketentuan penanganan Tindak Pidana Pemilihan, maka satu-satunya lembaga yang berwenang menerima laporan pelanggaran Pemilihan adalah Badan Pengawas Pemilu, sedangkan Polri adalah lembaga yang menerima penerusan laporan dari Badan Pengawas Pemilu," ucapnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas