Green Democratic di Pilkada 2024, Calon Pemimpin Diharapkan Mampu Kelola Sumber Daya Alam
Pilkada 2024 mendatang, saatnya memilih pemimpin yang peduli lingkungan!
Editor: Suci BangunDS
TRIBUNNEWS.COM - Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara serentak 2024.
Pada 27 November mendatang, sebanyak 207 juta pemilih Indonesia akan berpartisipasi dalam Pilkada 2024.
Nantinya, masyarakat akan memilih 37 gubernur dan 508 kepala daerah kabupaten/kota.
Pada momentum ini, gerakan “Green Democratic” diinisiasi untuk mengingatkan pentingnya masyarakat untuk memilih pemimpin yang mampu mengelola sumber daya alam secara bertanggung jawab.
Hal itu, dilakukan demi mencegah kerusakan lingkungan yang berdampak luas.
Indonesia Working Group on Forest Finance (IWGFF), Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (ForMaPPI), Lingkar Madani (LiMa), Koalisi Pemilu Bersih (Kopi Bersih), dan Indonesia Budget Center (IBC) yang menginisiasi gerakan “Green Democratic” tersebut.
Peringatan Ancaman Bencana Ekologis
Direktur IWGFF, Willem Pattinasarany, mengingatkan “salah urus” sumber daya alam oleh kepala daerah dapat memicu bencana ekologis, sosial, dan ekonomi.
“Pemilih harus memilih pemimpin yang berani menolak proyek yang mengancam kelestarian lingkungan,” ucap Willem.
Lantas, ia juga mengingatkan sejumlah tragedi, seperti Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah yang memicu kebakaran hutan dahsyat pada 1997.
Kemudian, banjir besar di Bahorok (2003), NTT (2021), dan Kalimantan Selatan (2021), yang sebagian besar disebabkan oleh pengelolaan lahan yang buruk.
Baca juga: PDIP Jatim Ingatkan Pentingnya Pelaksanaan Pilkada Aman dan Demokratis
Masyarakat Harus Terlibat Aktif
Oleh sebab itu, Lucius Karus selaku Manager Riset ForMaPPI, menyerukan pentingnya tata kelola pemilu yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.
Ia mengingatkan masyarakat untuk ikut memantau penyelenggaraan pemilu agar bebas dari praktik kotor.
Menurutnya, proses pemilu sebelumnya menunjukkan indikasi ketidaknetralan, seperti kandidat yang tidak layak secara administrasi namun tetap lolos seleksi.
Sementara itu, Direktur IBC, Elizabeth Kusrini, menambahkan bahwa tingginya biaya politik membuat kandidat terpaksa mengeluarkan dana besar, baik untuk memperoleh dukungan partai maupun membiayai kampanye.
Hal ini sering kali berujung pada kebijakan yang boros anggaran dan mengabaikan aspek keberlanjutan lingkungan.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif LiMa, Ray Rangkuti, mendesak perlunya revisi Undang-Undang Pemilu untuk mencegah politik uang dan praktik transaksional.
Ia juga menyarankan, agar pemerintah pusat membiayai kampanye kandidat dari kas negara.
Sehingga para kandidat dapat lebih fokus pada ide-ide pembangunan hijau daripada mencari dana kampanye ilegal.
Seruan untuk Bertindak
IWGFF dan koalisi mengajak masyarakat menolak praktik politik uang, terutama “serangan fajar” yang sering dilakukan para kandidat.
“Jumlah yang diterima masyarakat tidak sebanding dengan kerugian jangka panjang akibat kerusakan lingkungan dan ekonomi daerah,” tegas Willem.
Dengan gerakan ini, diharapkan Pilkada 2024 tidak hanya menjadi ajang memilih pemimpin, tetapi juga momentum untuk mendorong tata kelola lingkungan yang lebih baik demi masa depan Indonesia yang berkelanjutan. (*)