Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Tradisi Nujuh Likur di Bengkulu Selatan, Warga Bakar Tumpukan Tempurung Kelapa

Memperingati malam ke-27 bulan Ramadan, warga Bengkulu Selatan, Seluma, Kaur menggelar tradisi Nujuh Likur lewat bakar-bakar tumpukan tempurung kelapa

Editor: Setya Krisna Sumarga
zoom-in Tradisi Nujuh Likur di Bengkulu Selatan, Warga Bakar Tumpukan Tempurung Kelapa
TRIBUN BENGKULU/M ARIF HIDAYAT
Sejumlah Aparatur Sipil negara (ASN) Bengkulu Selatan memasang tumpukan tempurung kelapa di lapangan Sekudap Setungguan, yang disiapkan untuk tradisi Nujuh Likur Selasa malam (18/4/2023). 

TRIBUNNEWS.COM, BENGKULU - Masyarakat Bengkulu Selatan pada Selasa malam (18/4/2023) menggelar tradisi Nujuh Likur.

Acara dilaksanakan di lapangan Sekundang Setungguan, Bengkulu Selatan, berlangsung meriah disaksikan warga yang terlihat begitu antusias.

Tradisi Nujuh Likur sebenarnya juga dilakukan masyarakat Melayu di berbagai daerah di Indonesia.

Di Provinsi Bengkulu, tradisi Nujuh Likur ini dilakukan masyarakat Serawai yang ada di Bengkulu Selatan, Seluma, dan Kaur.

Sesuai maknanya, Nujuh Likur berarti dua puluh tujuh (27). Tradisi ini digelar pada malam ke 27 bulan Ramadan.

Tradisi ini juga sebagai tanda atau salam perpisahan dengan bulan Ramadan.

Tradisi Nujuh Likur ini merupakan tradisi yang dilakukan sejak masa lalu secara turun temurun.

Berita Rekomendasi

Prosesi diawali penyusunan tempurung kelapa secara rapi dan vertikal pada satu tiang yang ditancapkan ke tanah di depan rumah masing-masing.

Pada malam ke 27 bulan Ramadan, batok kelapa yang telah disusun ini kemudian dibakar atau masyarakat menyebutnya ‘Nyilap Lunjuk’.

Nyilap berarti bakar sedangkan Lunjuk bermakna sayak atau tempurung kelapa.

Embakaran tumpukan tempurung kelapa membuat sekitar jalan depan rumah terutama jalan menuju masjid menjadi terang.

Sebelum ada lampu penerangan seperti saat ini, hal itu bertujuan untuk memberikan penerangan masyarakat yang ingin pergi ke masjid.

Alasan puncak tradisi ini digelar pada malam ke 27 Ramadan, karena masyarakat meyakini 10 hari terakhir bulan Ramadan adalah hari yang paling dinanti-nanti masyarakat muslim untuk lebih giat menjalankan ibadahnya.

Sebab, di 10 terakhir Ramadan ini terdapat hari yang paling mulia yakni malam Lailatul Qodar.

Sehingga bagi masyarakat Serawai, tradisi nujuh likur ini bukan sebatas kegiatan biasa saja.

Terlebih, umat Islam dianjurkan untuk menghidupkan malam-malam qadr tersebut dengan memperbanyak ibadah kepada Allah SWT.

Sehingga masyarakat banyak berbondong-bondong ke masjid untuk melakukan banyak amalan-amalan di hari-hari terakhir Ramadan.

Di akhir Ramadan ini, kegiatan masyarakat juga banyak selain melakukan amalan-amalan ibadah. Salah satunya yakni membayar Zakat Fitrah, tadarus Bersama di masjid dan lainnya.

Di beberapa daerah di Indonesia, tradisi malam ke 27 Ramadan ini atau Nujuh Likur bukan digelar dengan membakar lunjuk atau tempurung kelapa, melainkan obor dengan tujuan sama yakni sebagai penerangan.

Seiring dengan maju dan berkembangnya zaman, penerangan tradisional ini sudah tidak adalah. Sudah diganti dengan penerangan listrik.

Namun, tradisi ini tetap dijaga dengan terus dilestarikan dengan tujuan makna atau semangat meningkatkan ibadah di bulan suci Ramadan terus ditingkatkan.(Tribunnews.com/TribunBengkulu/M Arif Hidayat)

ARTIKEL INI JUGA TAYANG DI ; 

Baca Selanjutnya: Makna nujuh likur tradisi masyarakat serawai di bengkulu selatan jadi tanda perpisahan ramadan

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas