Manyanggar, Ritual Khusus Suku Dayak Kalteng saat Buka Lahan Baru Pertanian
Suku Dayak Kalteng mempertahankan ritual Manyanggar, tradisi kuno sebelum mereka membuka lahan baru pertanian.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, PALANGKARAYA – Masyarakat Suku Dayak memiliki ritual khusus saat membuka lahan baru pertaninan.
Namanya ritual Manyanggar, yang masih dipertahankan secara tradisional oleh warga Suku Dayak Kalimantan Tengah (Kalteng).
Mereka mempertahankan ritual Manyanggar itu lantaran percaya dalam hidup di dunia, selain manusia juga hidup makhluk halus.
Selain itu, upacara Manyanggar ini dilaksanakan guna untuk mendirikan bangunan tempat tinggal atau sebelum dilangsungkannya kegiatan masyarakat dalam skala besar.
Masyakarat Dayak perlunya membuat rambu-rambu atau tapal batas dengan roh halus.
Mereka berharap agar keduanya tidak saling mengganggu alam kehidupan masing-masing.
Tak hanya itu, tujuan ritual Manyanggar ini juga sebagai ungkapan penghormatan terhadap batasan kehidupan makluk lain.
Setiap Suku Dayak satu dengan Suku Dayak yang lain memiliki berbeda-beda dalam prosesi upacaranya.
Namun secara umum memiliki tujuan yang sama yaitu sebagai wujud rasa syukur dan sebagai tolak bala.
Pada umunya, prosesi upacara Manyanggar dilakukan dengan meletakan dan menyusun beberapa gelas berisi tetesan darah hewan.
Tetesan darah itu telah dikorbankan ke dalam bangunan kecil berbentuk rumah panggung berbahan kayu yang dindingnya dibalut kain berwarna kuning.
Upacara kegiatan Manyanggar ini dipimpin oleh pemuka agama Kaharingan yang disebut Mantir.
Tetesan darah hewan yang dikorbankan di antaranya darah kerbau, kambing, ayam hitam, dan ayam putih, dan sebagainya.
Masyarakat Dayak biasa menyebut rumah sakral tersebut sebagai Pasah Keramat.