Kopi Toraja Pernah Memantik Perang Suku di Sulawesi Selatan
Sengketa penguasaan komoditas kopi Toraja pernah memantik peperangan suku antara suku Bugis dan Toraja pada abad 19.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, RANTEPAO - Perang besar di dunia umumnya dipicu perebutan daerah kekuasaan, minyak bumi, emas, hingga Perang Troya yang dipicu perebutan wanita.
Di Indonesia sendiri, biji kopi pernah dijadikan alasan untuk memulai perang. Kisah ini dimulai di Tana Toraja, sebuah daerah pegunungan yang terletak sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut di Sulawesi Selatan.
Daerah ketinggian, tanah yang sedikit asam, jumlah curah hujan yang tepat, dan lonjakan suhu antara siang dan malam, membuat Toraja dianggap tempat ideal menanam kopi.
Toraja dikenal dunia sebagai penghasil beberapa jenis biji kopi terbaik Indonesia.
Dulu, kopi dianggap sebagai komoditas langka dan barang mewah, terutama ketika pertama kali diperkenalkan Belanda pada masa penjajahan di akhir abad ke-17.
Kopi pertama kali dibawa ke dataran tinggi Toraja pada 1850-an.
Pada tahun 1876, datangnya penyakit karat, penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur patogen, mempengaruhi sejumlah besar perkebunan kopi besar di Jawa.
Penanaman kopi oleh petani kecil di Toraja akhirnya menjadi bisnis yang berkembang pesat.
Sayangnya, hal ini menjadi pemicu sebuah perang bersejarah, Perang Kopi.
Perang Kopi terjadi antara penduduk asli Toraja dan suku Bugis, salah satu suku terbesar di Sulawesi Selatan.
Berdasarkan Lontara Enrekang, Perang Kopi dimulai sekitar tahun 1887-1888 yang disebabkan oleh keinginan kerajaan Luwu untuk memonopoli perdagangan kopi di Tana Toraja.
Pada saat itu kerajaan Luwu sudah menguasai dataran tinggi Sa'dan.
Disadur dari buku "From Coffee Wars to Kalosi Market" karya Reny Sri Ayu dan Gregorius M Finesso (2018), Puang Makale, Laso' Bai, mewakili Tallu Lembangna, sebutan untuk aliansi Makale, Sangalla', dan Mengkendek, meminta bantuan kerajaan Sidenreng dan Enrekang untuk mengakhiri monopoli pedagang Luwu.
Monopoli perdagangan kopi berhenti selama 10 tahun. Tetapi, para pedagang yang dipimpin oleh Lamadukelleng kembali ke Toraja untuk memonopoli ulang perdagangan kopi Toraja di Enrekang.