Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kuliner Ekstrem Ulat Sagu di Sentani Jayapura, Anda Berani Mencoba?

Ulat Sagu dikenal lama dan dikonsumsi warga Papua. Kampung Yoboi di tepi Danau Sentani punya acara tahunan Festival Ulat Sagu.

Editor: Setya Krisna Sumarga
zoom-in Kuliner Ekstrem Ulat Sagu di Sentani Jayapura, Anda Berani Mencoba?
TRIBUNNEWS/SIGIT ARIYANTO
Warga menunjukkan segenggam ulat sagu yang baru saja dipanen dari batang sagu di Kampung Yoboi tepian Danau Sentani Jayapura, Papua. 

TRIBUNNEWS.COM, JAYAPURA – Anda tahu ulat sagu? Ini satu di antara camilan ekstrem di Papua, tentu bagi warga dari luar? Berani mencoba?  

Sepintas melihat ulat sagu, yang terbayang adalah hewan gendut putih yang menggeliat-geliat bikin geli atau malah ngeri.

Ulat sagu umumnya memang berwarna putih. Ukurannya antara tiga hingga empat sentimeter tiap ekornya yang sudah dewasa.

Ulat sagu ini sebenarnya larva kumbang penggerek Rhynchophorus ferrugineus, yang biasanya menggerek batang-batang pohon sagu.

Ulat sagu memiliki kandungan protein, tetapi sebagian besar adalah lemak. Ulat sagu menjadi menu tambahan bagi masyarakat pesisir Papua, karena tidak setiap saat dapat dijumpai ulat ini.

Setiap 100 gram ulat sagu, mengandung 181 kalori dengan 6,1 gram protein dan 13, 1 gram lemak.

Olahan makanan berbahan ulat sagu dapat dikreasikan menjadi sate, burger, pizza, sop, nasi goreng ulat sagu, bakso ulat sagu dan keripik ulat sagu.

BERITA TERKAIT

Di sekitaran Jayapura, ulat sagu bisa didapatkan di sejumlah perkampungan di tepi Danau Sentani. Penduduk menanam pohon sagu, yang memang jadi makanan pokok mereka.

Ciri lain ulat sagu selain dominan warna putih, kepalanya umumnya berwarna gelap. Tekstur daging ulat sagu agak kenyal.

Jika digigit akan keluar cairan dari perut hewan yang satu ini. Ulat sagu memiliki rasa hambar dengan sedikit manis dan gurih.

Ulat Sagu Dibakar untuk Dikonsumsi Warga Kampung Yoboi Sentani Jayapura
Ulat Sagu yang baru saja dipanen dibakar dan dikonsumsi warga Kampung Yoboi, tepian Danau Sentani, Jayapura, Papua.

Ulat sagu biasanya dikonsumsi dalam keadaan masih hidup. Caranya langsung ditelan hidup-hidup. Atau, dibakar terlebih dahulu, dibumbui sedikit garam.

"Cara mengolah tinggal dibakar saja sama dibumbui garam sedikit," kata Delea, salah satu penjual ulat sagu bakar di Sentani.

Ulat sagu umumnya hidup di batang pohon sagu, dan biasa dipanen ketika batang pohon sagu sudah mulai membusuk.

Proses memanennya yakni dengan menebang pohon sagu yang sudah mulai membusuk kemudian membelahnya dengan kapak.

Satu persatu ulat sagu yang ditemukan dikumpulkan oleh masyarakat untuk kemudian dikonsumsi.

Warga Kampung Yoboi di Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, telah lama mengenal ulat sagu.

Ulat sagu telah lama mereka konsumsi secara turun temurun, mulai dari generasi nenek moyang.

Orang Sentani menyebut ulat sagu sebagai hem. Pada Festival Ulat Sagu yang digelar selama 25-27 Oktober 2022, warga Kampung Yoboi menunjukkan proses pengambilan hingga pengolahan ulat sagu yang kemudian disajikan kepada para pengunjung.

Ketua Panitia Festival Ulat Sagu Yoboi Billy Tokoro mengatakan, ulat itu diambil dari pohon sagu yang telah lewat dari batas umur panen atau dinyatakan mati.

Ulat itu diambil phon sagu hutan yang tidak dimakan.

“Sagu-sagu jenis inilah yang ditebang. Kemudian dibiarkan dua sampai tiga bulan. Tergantung dari sagu. Lalu dilubangkan pohon sagu, sehingga kumbang bisa masuk dan melakukan proses, maka terjadinya ulat,” kata Billy.

Masyarakat Sentani, khususnya Kampung Yoboi, menganggap proses penebangan pohon sagu merupakan bagian penting.

“Tidak sembarang orang menebang pohon sagu. Biasanya orang yang dipercaya memiliki tangan bagus untuk menebang pohon sagu, karena nanti ulatnya banyak,” ungkap Billy.

Menurut Billy, pohon sagu yang ditebang saat festival berbeda dengan biasanya. Hal ini karena pohon yang ditebang dalam jumlah banyak.

Agar hasil ulat sagu sesuai harapan, kepala suku akan menggelar ritual.

“Biasanya terlebih dahulu kasih tahu (memberitahu) dia (kepala suku). Lalu dilakukan rapat adat, setelah itu kepala suku yang bersangkutan akan merestui untuk dilakukan penebangan pohon sagu,” tuturnya.

“Masyarakat percaya bahwa melalui proses ritual yang dilakukan seperti ini, maka hasil ulat dalam sagu akan banyak dan hasilnya baik,” lanjutnya.

Jamur Sagu

Bagi masyarakat Sentani, ulat sagu memiliki protein tinggi. Oleh karena itu, setiap ibu hamil diwajibkan mengonsumsi ulat sagu.

“Setiap ibu yang mengandung diwajibkan harus mengkonsumsi ulat sagu,” kata Billy.

Billy membeberkan, setelah ulat diambil, akan tumbuh jamur di pohon sagu tersebut.

Bagi masyarakat Sentani, jamur sagu bisa menyembuhkan luka karena mengandung ampisilin.

“Biasanya ibu hamil setelah melahirkan mereka akan makan jamur sagu untuk proses penyembuhan terhadap luka-luka yang ada setelah melahirkan,” bebernya.

Menurut Billy, mengonsumsi ulat dan jamur sagu merupakan sebuah tradisi yang sudah terjadi sejak nenek moyang dan masih dilanjutkan sampai sekarang.

“Inilah kearifan yang kita angkat kembali menjadi Festival Ulat Sagu. Karena mengonsumsi ulat dan jamur sagu merupakan tradisi yang sudah sejak leluhur hingga saat ini,” tuturnya.

Bakar dan Rebus

Billy menjelaskan, ulat sagu yang telah diambil akan diletakkan di pelepah sagu atau ember berukuran kecil.

Ulat sagu yang baru diambil bisa langsung dibakar seperti membuat sate atau direbus.

Jika telah matang, maka bisa langsung dikonsumsi.

“Bisa bakar, bisa juga rebus. Tergantung selera. Proses bakar dan rebus tidak memakan waktu, sekitar 5-10 menit. Setelah itu bisa langsung dimakan,” jelasnya.

Ulat itu juga bisa diolah dengan sagu. Ulat yang diambil dari pohon dicampur dengan sagu kering lalu dibakar.

“Ulat yang diambil dari pohon sagu bisa dicampur dengan sagu lalu dibakar. Bisa juga dimasukkan dalam bambu kemudian dibakar. Bisa juga dicampur dengan sayur lalu dimasak. Tergantung dari selera masyarakat sendiri,” ujarnya.

“Kalau masyarakat di Sentani pada umumnya mengelolah ulat sagu dengan cara dibakar dan rebus serta dibakar bersamaan dengan sagu. Artinya ulat sagu dimasukkan dalam sagu kemudian dibakar menggunakan sempe atau gerabah,” tambahnya.

Mengonsumsi ulat sagu dalam kehidupan orang Sentani sudah dilakukan sejak ratusan tahun, terutama untuk dikonsumsi oleh ibu hamil dan anak-anak.

Billy menyampaikan, bagi ibu di Sentani yang sedang hamil, maka suaminya diwajibkan untuk mencari ulat sagu untuk dimakan.

Menurut kepercayaan masyarakat Yoboi, protein yang dimiliki ulat sagu bermanfaat bagi bayi nantinya.

“Ini merupakan kebiasaan orang di Sentani dari dahulu hingga sekarang,” ucap salah satu pemuda Yoboi yang merupakan penggagas Festival Ulat Sagu ini.

Jamur yang tumbuh pada pohon sagu yang telah diambil ulatnya itu juga bermanfaat buat ibu yang baru melahirkan.

“Jamur sagu ini akan diambil untuk di konsumsi oleh ibu yang baru saja melahirkan (bersalin), sebab dapat menyembuhkan luka-luka pada ibu yang baru saja melahirkan. Jamur sagu ini memiliki kandungan ampisilin yang sangat besar,” ujarnya.

Menurut Billy, mengonsumsi ulat sagu bisa mendukung kebijakan pemerintah tentang menumbuhkan kecerdasan otak pada 1.000 hari kehidupan anak.

“Ini merupakan tradisi yang selama ini dimiliki oleh masyarakat di Sentani dalam meningkatkan kecerdasan otak anak-anak dengan mengkonsumsi ulat sagu."

"Diwajibkan kepada ibu hamil, sebab akan memberikan asi kepada anak yang baru lahir selama proses pemberian asi,” jelasnya.(Tribunnews.com/TribunPapua/Aldi BImantara/Paul M Tambunan)

ARTIKEL INI JUGA TAYANG DI ; 

Baca Selanjutnya: Mengenal kuliner khas ulat sagu di sentani jayapura

Sumber: Tribun Papua
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas