Ahli Psikologi Forensik: Penyebutan Teroris Persulit Ungkap Penembakan
Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel, menilai penyebutan teroris untuk pelaku penembakan justru kontra produktif.
Editor: Gusti Sawabi
Tribunnews.com, Jakarta - Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel, menilai penyebutan teroris untuk pelaku penembakan Bripka Sukardi dan penembakan polisi lainnya justru kontra produktif.
Menurutnya hal itu malah mempersulit pengungkapan dan memunculkan kekhawatiran yang eksesif di publik. Atau bahkan sebaliknya, kata dia, masyarakat justru tidak peka lagi terhadap bahaya terorisme.
"Padahal musuh polisi sangat banyak. Mulai dari mafia narkoba, sindikat perampokan dan lain
sebagainya. Mengapa tidak disebut saja penembaknya pasti pelaku kejahatan atau pelaku kriminal," kata Reza kepada Warta Kota, Rabu (11/9/2013) malam.
Berulangnya peristiwa ini, kata Reza, menunjukkan tidak berjalannya mekanisme efek jera.
"Efek jera dihaslikan oleh kecepatan dan keajegan dalam penindakan. Ini tidak terjadi dan tidak dilakukan polisi," kata pengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) ini.
Ia lalu mempertanyakan sebutan penembak polisi dengan teroris karena polisi belum mampu mengungkapnya.
"Lha, kalau semua dibilang teroris, lantas siapa yg bukan teroris?," tanya pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), Universitas Tarumanegara dan Bina Nusantara ini.
Pengungkapan kasus penembakan katanya akan terbantu oleh criminal profiling yang rapi, data memadai, dan spesifik.
"Masalahnya, walau kasus ini menghebohkan, tapi jumlah korban belum memadai untuk pelaku disebut teroris. Juga tak spesifik, karena buru-buru disebut teroris," paparnya.
Saya sudah capek denga sebutan-sebutan teroris. Sama muaknya dengan saat George W Bush sedikit-sedikit menyalahkan Sept 11th," kata Reza.
Menurut Reza, dengan identitas dua pelaku penembakan yang diungkap polisi beberapa waktu criminal profilingnya belum beres. Itu terbukti setelah identitas diungkap penembakan polisi justru kembali terjadi.
"Saya tak tahu. Tapi kemungkinan itu tetap harus dibuka, karena toh sekali lagi criminal profiling-nya blm beres," kata dia.
Ia menambahkan secara ekstrim dari data akademisinya, di luar negeri terungkap bahwa tidak sedikit pelaku penembakan aparat yang menjawab, "I'm bored!"
"Jadi kebanyakan penembakan polisi justru tidak ada motif khusus. Semata-mata karena pelakunya merasa 'gw ngapain, ya? Mulut asem, tangan gatel...Ah, gw nembakin polisi aja, ah!," papar Reza.
Menurutnya penembakan polisi adalah efek kampanye polisi melawan terorisme.
Dasarnya, kata Reza, sekalipun polisi (anggaplah) sukses menyikat orang-orang yang disebut teroris, namun polisi tidak sukses merebut simpati publik.
"Merebut simpati publik yang penting. Agar informasi keberadaan pelaku dari masyarakat, didapat polisi," katanya.
Ia berandai-andi, jika penembakan polisi tersebut memang modus baru teroris, menurutnya itu dalam tanda kutip menjadi lebih baik ketimbang bom.
"Denga bom, yang jadi korban bisa siapa saja. Tapi dengan penembakan, target operasi teror berarti lbh spesifik yakni polisi. Kita-kita ini, bisa dibilang, tak lagi menjadi incaran teroris," katanya.
Walau begitu, Reza, mengatakan bukan berarti dirinya membenarkan penembakan terhadap polisi.
"Polisi juga orang Indonesia, punya keluarga seperti kita. Saya bersimpati pada para korban dan keluarga mereka," katanya.(bum)