Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kemiskinan di Banten: Saat ‘Rumah’ Atut Tak Sesuai Harapan

Memasuki Provinsi Banten tak ubahnya ke ”rumah” Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah.

zoom-in Kemiskinan di Banten: Saat ‘Rumah’ Atut Tak Sesuai Harapan
KOMPAS images/KRISTIANTO PURNOMO
Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah meninggalkan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta Selatan, Jumat (11/10/2013). Ia diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Susi Tur Andayani terkait kasus dugaan suap pengurusan sengketa Pilkada Lebak, Banten. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO 

TRIBUNNEWS.COM – Memasuki Provinsi Banten tak ubahnya ke ”rumah” Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Belum jauh melangkah, sejumlah baliho foto keluarganya terpajang di jalan. Mulai dari anaknya, Andiara Aprilia Hikmat, hingga adik tirinya, Tubagus Haerul Jaman.

Dengan senyuman lebar, wajah mereka seperti menjanjikan sebuah harapan. Namun, bagi Ulyati (40) bersama suami, Faid (45), dan tiga anaknya, senyuman itu sungguh pahit.

Warga yang tinggal di Kampung Ciwedus, Kelurahan Mesjid Priyayi, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, atau berjarak hanya 10 kilometer dari Alun-alun Kota Serang, ibu kota Provinsi Banten, itu kini dililit kemiskinan.

Putra bungsu Ulyati, Khairul Anwar (7), yang sejak balita menderita gizi buruk disergap sejumlah penyakit. Tak hanya penyakit polio yang membuat Anwar belum bisa berdiri, apalagi bermain, seperti rekannya seusia, tetapi juga mengidap penyakit tuberkulosis.

Perutnya membuncit dan kakinya mengecil. Anwar juga belum bisa berbicara. Hanya terdengar kata- kata ”ma-ma-ma” dari mulutnya saat memanggil ibundanya.

”Kemarin sudah diperiksa ke klinik terdekat dan kakinya sudah difoto. Namun, mau periksa ke dokter, biayanya takut mahal. Apalagi saya tak punya uang,” kata Ulyati.

Meskipun jumlah keluarga miskin yang mendapat kartu jaminan kesehatan daerah di Provinsi Banten mencapai 807.511 keluarga miskin, Ulyati dan keluarganya tak tersentuh.

Berita Rekomendasi

Keluarga Ulyati hanya mengandalkan penghasilan suaminya, menjadi buruh jahit di Kota Serang. Penghasilannya tiap hari Rp 25.000-Rp 30.000, hanya cukup untuk makan tiap hari dengan menu seadanya.

”Saat Anwar berumur dua tahun, dan suami saya sama sekali tak bekerja, dia benar-benar sulit. Kami terpaksa makan nasi aking selama tiga bulan,” katanya.

Saat Kompas akhir pekan ini mengunjunginya, dengan bahasa tak jelas, Anwar merengek meminta makan. Ulyati memberinya nasi putih ditaburi garam dan sepotong kecil telur dadar, potongan jatah keluarganya.

Di rumah yang tak jauh dari pantai utara Serang, Ulyati juga terpaksa mengonsumsi air sungai. Padahal, airnya yang berwarna coklat itu digunakan mandi bebek dan kakus. ”Sumur di belakang rumah tak bisa dipakai karena airnya asin. Jadi, hanya untuk mandi dan cuci piring,” kata Ulyati.

Komoditas politis

Wasiudin (50), yang rumahnya tak jauh dari Ulyati, lebih papa lagi nasibnya. Duda dengan lima anak praktis hanya menganggur setelah sebelumnya kerja serabutan. Tak heran jika keempat anaknya hanya tamat sekolah dasar (SD) dan kini menganggur seperti ayahnya.

Hanya putra bungsunya, Tajudin, yang masih duduk di kelas V SD. ”Bagaimana mau sekolah kalau tak punya biaya. Untuk makan saja susah,” ujarnya.

Halaman
12
Sumber: KOMPAS
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas