Dugaan Rekayasa Kasus JIS Kembali Mencuat di Sidang Guru
Dugaan adanya unsur rekayasa dalam kasus dugaan kekerasan seksual di Jakarta Intercultural School (JIS) kembali mencuat.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dugaan adanya unsur rekayasa dalam kasus dugaan kekerasan seksual di Jakarta Intercultural School (JIS) kembali mencuat.
Kali ini fakta tersebut terungkap dalam sidang yang melibatkan dua guru JIS yaitu Neil Bantleman dan Ferdinant Tjong.
Dalam sidang tertutup yang berlangsung hingga Selasa malam terungkap, sejumlah saksi ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) diduga masih terafiliasi dengan ibu korban.
Selain itu, para ahli yang terdiri dari psikolog tersebut tidak memiliki kompetensi serta tidak didukung oleh pengetahuan serta pengalaman yang memadai.
Demikian dikemukakan, Henock Siahaan, salah satu pengacara dua guru JIS, Rabu (21/1/2015).
Dijelaskan dua orang psikolog yaitu Connie Kristianto dan Nella Safitri merupakan psikolog dari pelapor kasus ini yaitu TPW dan DAR.
Ibu dari korban MAK dan CAP meminta dua psikolog itu untuk memberikan konseling kepada anak mereka sejak kasus ini mencuat ke publik.
Sementara itu, dua ahli lainnya yaitu Nurul Adhiningtyas dan Setyani Ambarwati merupakan psikolog di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di DKI Jakarta.
Lembaga ini merupakan mitra Polda Metro Jaya, pihak yang menjadi penyidik kasus JIS.
“Pemilihan dan penunjukan ahli yang dihadirkan dalam persidangan kemarin sangat tidak independen dan meragukan. Seharusnya ahli yang dihadirkan tidak memiliki afilisasi dengan pihak-pihak yang terlibat, apalagi sampai dibayar oleh ibu yang diduga anaknya menjadi korban kasus ini,” kata Hennock.
Adanya hubungan antara saksi ahli dengan TPW terlihat dari semua keterangannya tidak independen dan bias. Selain itu, keahlian dari para saksi juga meragukan.
Hennock mencontohkan, dalam keterangannya Setyani mengatakan bahwa “Anak tidak mungkin berbohong”.
Tapi pada keterangannya yang lain ia menyatakan bahwa “anak kalau dipaksakan bisa berbicara apa saja”.
Dalam ilmu psikologi sendiri teori “anak yang tidak mungkin berbohong” merujuk kepada teori yang dikemukakan oleh Catherine Fuller tahun 1984.
Teori ini ada sebelum peristiwa tuduhan kekerasan seksual palsu yang terjadi di TK McMartin di Amerika Serikat. Namun, setelah kasus di TK McMartin tersebut teori anak tidak mungkin berbohong sudah ditinggalkan oleh dunia psikologi.