Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Dugaan Rekayasa Kasus JIS Kembali Mencuat di Sidang Guru

Dugaan adanya unsur rekayasa dalam kasus dugaan kekerasan seksual di Jakarta Intercultural School (JIS) kembali mencuat.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Dugaan Rekayasa Kasus JIS Kembali Mencuat di Sidang Guru
AFP/ADEK BERRY
Staf pengajar TK Jakarta International School (JIS) yang menjadi terdakwa dugaan asusila Ferdinan Michael Tjiong (dua kiri) dan Neil Bantleman (dua kanan) tiba di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (2/12/2014). Dua guru JIS Neil Bantleman dan Ferdinan Michael Tjiong menjalani sidang perdana terkait dugaan tindakan kekerasan seksual terhadap beberapa murid JIS dengan ancaman hukuman maksimal hingga 15 tahun penjara. AFP PHOTO / ADEK BERRY 

Sebagai ahli, Setyani juga hanya mengumpulkan informasi sepihak yaitu dari ibu korban dan polisi. Dalam keterangannya psikolog yang ditunjuk Polda Metro mendampingi MAK sejak bulan Maret 2014 ini mengungkapkan, dia tidak mengumpulkan informasi dari pihak sekolah karena tidak mendapatkan ijin.

Padahal Setyani juga mengakui bahwa dirinya belum pernah mengirimkan surat resmi kepada JIS untuk datang dan melakukan pengumpulan informasi terkait kasus ini.
“Semua keterangan yang disampaikan ahli sangat bias dan tidak relevan untuk didengar. Sangat berbahaya menggunakan keterangan ahli yang sudah memiliki afiliasi dengan salah satu pihak,” tandas Hennock.
Tak Pernah Menyebut Neil dan Ferdi
Ahli lainnya yaitu Connie Kristanto, mengaku diminta oleh orang tua MAK untuk memberikan therapi terhadap anaknya, MAK, sebanyak 30 kali sesi.

Selama 30 sesi bersama MAK, Connie mengakui bahwa si anak tidak pernah menyebut nama Neil dan Ferdi.
Lebih penting lagi, lanjut Hennock, Connie mengaku hanya memiliki spesialisasi di psikologi klinis. Keahlian itu tujuannya hanya mengobati dan memberikan terapi. Connie tidak punya keahlian psikologi forensik.

Oleh karena itu, dia tidak pernah menggali apa latar belakang kejadian yang diduga menimpa MAK dan siapa pelakunya.
Selama berulang kali sesi pemeriksaan anak dengan Connie, anak tidak pernah ditanya mengenai kedua hal tersebut. Sebagai ahli Connie juga tidak memiliki pengetahuan mengenai false memory.
False memory atau memori palsu adalah sebuah ingatan yang tercipta dari penciptaan kenangan palsu, persepsi palsu atau keyakinan palsu tentang diri atau lingkungan. Penciptaan ingatan ini menimbulkan kebingungan sehingga seseorang tidak mampu lagi membedakan apakah ingatan tersebut benar atau salah, benar-benar terjadi atau tidak pernah terjadi. ‎‎"Seharusnya saksi ahli yang kompeten adalah psikiatri forensik.

Dengan demikian dapat memeriksa kejiwaan anak untuk mengetahui penyebab trauma psikologis dan saat memberikan keterangan dapat dinyatakan masuk akal. Dan yang lebih penting, ahli harus independen,” ujar Hennock.

Dalam UU kesehatan No. 36 Tahun 2011 pasal 150, ayat 1 tentang pemeriksaan kesehatan untuk kepentingan hukum dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa. Sedangkan ayat 2 tentang penetapan status kecakapan hukum seseorang yang diduga mengalami gangguan kesehatan jiwa dilakukan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian dan kompetensi sesuai dengan standar profesi.

"Mengingat saksi ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan untuk menangani kasus ini, tidak independen dan ahli tidak mengikuti perkembangan metode penanganan psikologis anak, kami berharap majelis hakim mempertimbangkan untuk mengenyampingkan kesaksian ahli hari ini,” kata Hennockmengakhiri percakapan.‎

Berita Rekomendasi

Sebelumnya kepada media, Perhimpunan Advokad Indonesia (Peradi) menilai penunjukan saksi ahli yang tidak memiliki kompetensi berbahaya bagi penegakan hukum di Indonesia. Kehadiran saksi ahli memiliki peran penting dalam pengungkapan kebenaran dan mewujudkan keadilan.

"Saksi ahli itu harus memberikan kejelasan untuk suatu kasus. Jadi harus dilihat jenjang akademisnya, (apakah dia) memiliki pengalaman menangani kasus serupa apa belum. Keterangan saksi ahli menjadi barang bukti. Kalau tidak kompeten maka akan sangat berbahaya bagi penegakan hukum," kata Ketua Umum Peradi,Otto Hasibuan, Senin (19/1/2015).‎

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas