Enam Kecamatan di Jakarta yang Air Tanahnya Rusak dan Rawan Ambles
Ini enam kecamatan di Jakarta yang air tanahnya rusak dan berpotensi tanahnya ambles.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM -Pertumbuhan kawasan terbangun di Jakarta belum memperhitungkan zona rawan amblesan sekaligus zona yang air tanahnya rusak.
Pertambahan beban tanah mempercepat penurunan muka tanah. Pengawasan ketat perlu dilakukan sebelum Jakarta benar-benar tenggelam.
Berdasarkan data Balai Konservasi Air Tanah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, zona rawan amblesan sekaligus zona air tanah yang rusak berada dalam lokasi yang bersisian. Wilayah itu sebagian besar tersebar di wilayah Jakarta Utara, yaitu sekitar Kecamatan Penjaringan, Tanjung Priok, Pademangan, dan Cilincing. Daerah lain adalah Cengkareng dan Pulogadung.
Di zona yang air tanahnya rusak ini, pengambilan air tanah tidak boleh melebihi 100 meter kubik untuk setiap keluarga. Penurunan muka tanah di zona ini sekitar 8 sentimeter atau telah lebih dari 100 cm dalam 30 tahun terakhir.
Hingga kini, pembangunan di wilayah-wilayah ini terus terjadi. Menurut Ahli hidrologi Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Firdaus Ali, Selasa (10/2), selama ini pembangunan dilakukan tanpa memperhitungkan adanya zona rawan amblesan dan zona air tanah rusak.
”Semuanya hanya memperhitungkan asas komersial. Padahal, peringatan tentang zona rawan telah dilakukan selama sekitar 20 tahun terakhir, tetapi bangunan tinggi terus tumbuh. Bangunan tinggi adalah salah satu penyumbang penurunan muka tanah hingga 20-30 persen,” ujarnya.
Bangunan tinggi, tambah Firdaus, adalah beban statis yang terus membebani permukaan tanah, selain beban dinamis dari kendaraan dan jumlah penduduk. Terlebih, bangunan-bangunan tinggi ini sudah hampir dipastikan mengambil air tanah dalam jumlah yang besar.
Dengan demikian, menurut dia, bangunan tinggi menambah dua hal, beban statis sekaligus pengambilan air tanah. Di samping itu, tanah di Jakarta yang merupakan tanah muda masih terus berproses dan mengalami konsolidasi.
50 bangunan
Menurut Sekretaris Kota Jakarta Utara Junaedi, pertumbuhan bangunan dengan tinggi 4-8 lantai di wilayahnya sekitar 50 gedung setiap tahun. Jumlah ini belum termasuk bangunan dengan tinggi lebih dari delapan lantai yang izinnya berada di tingkat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
”Bisa dilihat bangunan tinggi cukup banyak. Akan tetapi, kami cuma berwenang untuk bangunan dengan tinggi delapan lantai ke bawah, selebihnya itu wewenang dinas (DKI),” ujar Junaedi.
Ia pun berharap agar pembangunan gedung tinggi ke depan jauh lebih diperhatikan dan diawasi.
Perda tidak ditaati
Pertumbuhan bangunan yang masif ini perlu segera dikendalikan. Pembangunan di daerah yang rawan harus memperhatikan aspek amblesan dan ketersediaan air tanah.
Menurut Firdaus, terbitnya Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi DKI Jakarta seharusnya bisa menjadi alat ampuh pengendali pembangunan. Perda tersebut mengatur peruntukan daerah dengan zonasi yang lebih jelas.
”Namun, aturan ini memang belum begitu sempurna. Penegakan aturan dan pengawasan adalah hal yang paling utama,” ujarnya.