Keluarga Penelantar Anak Mengaku Titisan Raja Majapahit dan Mangkunegara
UT mengaku keturunan Raja Sambernyawa pendiri kerajaan Mangkunegara. Sementara, istrinya, NS, diakui titisan raja Majapahit
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pengacara pasangan suami-istri, UT (45) dan NS (42), Handika Honggowoso, mengatakan kliennya mengalami perubahan kejiwaan selama enam bulan terakhir.
Dia menjelaskan, UT mengaku keturunan Raja Sambernyawa pendiri kerajaan Mangkunegara. Sementara, istrinya, NS, diakui titisan raja Majapahit, Tribuana Tungga Dewi.
Pernyataan yang disampaikan UT tersebut yang masih didalami tim dokter RS Polri apakah pasangan suami-istri itu sehat secara jasmani. Ini diperlukan untuk membuktikan dalam kasus penelantaran anak.
"Menurut dokter itu hal yang perlu di observasi lebih dalam untuk mengkategorikan dia sehat secara jasmani atau tidak. Kalau kesehatan dia tunggu hasil dokter," ujar Handika ditemui di RS Polri Kramatjati, Jumat (22/5/2015).
Handika menjelaskan, pasangan suami-istri tersebut sering menjalani tradisi kejawen seperti puasa. Ini dalam rangka obsesi merealisasi panggilan gaib.
Selama menjalankan tradisi tersebut, kata Handika, pasangan suami-istri itu menyalahgunakan narkoba jenis sabu. Kepada aparat kepolisian,mereka pun mengakui menyalahgunakan narkoba.
"Kalau nyabu salah satu membuat tubuh menjadi kuat untuk melakukan tirakat membaca 100 ribu bacaan dzikir sampai sehari semalam untuk kepebtingan zikir. Itu versi dia. Itu bagian prosesi yang harus menjalani karena di lantai atas ada keris," tuturnya.
Silsilah Tribhuwana
Menurut wikipedia, nama asli Tribhuwana Wijayatunggadewi (atau disingkat Tribhuwana) adalah Dyah Gitarja.
Ia merupakan putri dari Raden Wijaya dan Gayatri dan memiliki adik kandung bernama Dyah Wiyat dan kakak tiri bernama Jayanagara.
Pada masa pemerintahan Jayanagara (1309-1328) ia diangkat sebagai penguasa bawahan di Jiwana bergelar Bhre Kahuripan.
Menurut Pararaton, Jayanagara merasa takut takhtanya terancam, sehingga ia melarang kedua adiknya menikah.
Setelah Jayanagara meninggal tahun 1328, para ksatriya pun berdatangan melamar kedua putri.
Akhirnya, setelah melalui suatu sayembara, diperoleh dua orang pria, yaitu Cakradhara sebagai suami Dyah Gitarja, dan Kudamerta sebagai suami Dyah Wiyat.
Cakradhara bergelar Kertawardhana Bhre Tumapel. Dari perkawinan itu lahir Dyah Hayam Wuruk dan Dyah Nertaja. Hayam Wuruk kemudian diangkat sebagai yuwaraja bergelar Bhre Kahuripan atau Bhre Jiwana, sedangkan Dyah Nertaja sebagai Bhre Pajang.
Pemerintahan Tribhuwana
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana naik takhta atas perintah ibunya (Gayatri) tahun 1329 menggantikan Jayanagara yang meninggal tahun 1328. Ketika Gayatri meninggal dunia tahun 1350, pemerintahan Tribhuwana pun berakhir pula.
Berita tersebut menimbulkan kesan bahwa Tribhuwana naik takhta mewakili Gayatri. Meskipun Gayatri hanyalah putri bungsu Kertanagara, tapi mungkin ia satu-satunya yang masih hidup di antara istri-istri Raden Wijaya sehingga ia dapat mewarisi takhta Jayanagara yang meninggal tanpa keturunan.
Tetapi saat itu Gayatri telah menjadi pendeta Buddha, sehingga pemerintahannya pun diwakili putrinya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi.
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana memerintah didampingi suaminya, Kertawardhana. Pada tahun 1331 ia menumpas pemberontakan daerah Sadeng dan Keta.
Menurut Pararaton terjadi persaingan antara Gajah Mada dan Ra Kembar dalam memperebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng. Maka, Tribhuwana pun berangkat sendiri sebagai panglima menyerang Sadeng, didampingi sepupunya, Adityawarman.
Peristiwa penting berikutnya dalam Pararaton adalah Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada saat dilantik sebagai rakryan patih Majapahit tahun 1334.
Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati makanan enak (rempah-rempah) sebelum berhasil menaklukkan wilayah kepulauan Nusantara di bawah Majapahit.
Pemerintahan Tribhuwana terkenal sebagai masa perluasan wilayah Majapahit ke segala arah sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa. Tahun 1343 Majapahit mengalahkan raja Kerajaan Pejeng (Bali), Dalem Bedahulu, dan kemudian seluruh Bali.
Tahun 1347 Adityawarman yang masih keturunan Melayu dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu. Ia kemudian menjadi uparaja (raja bawahan) Majapahit di wilayah Sumatera. Perluasan Majapahit dilanjutkan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, di mana wilayahnya hingga mencapai Lamuri di ujung barat sampai Wanin di ujung timur.
Nagarakretagama menyebutkan akhir pemerintahan Tribhuwana adalah tahun 1350, bersamaan dengan meninggalnya Gayatri. Berita ini kurang tepat karena menurut prasasti Singasari, pada tahun 1351 Tribhuwana masih menjadi ratu Majapahit.
Menurut Pararaton, Tribhuwanotunggadewi didharmakan dalam Candi Pantarapura yang terletak di desa Panggih. Sedangkan suaminya, yaitu Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386, dan didharmakan di Candi Sarwa Jayapurwa, yang terletak di desa Japan. (Wartakota/wikipedia)