NJOP Lahan Rumah Sakit Sumber Waras Naik Tajam Pada 2014
NJOP tanah di Jalan Kiai Tapa Rp 12,195 juta pada 2012-2013. Pada 2014 meningkat Rp 20,755 juta, dan 2015 nilainya menjadi Rp 23,725 juta.
Penulis: Adi Suhendi
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pertemuan Panitia Khusus DPRD DKI Jakarta dengan pihak eksekutif yang diwakili Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, membahas Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI terkait pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras yang dianggap menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 191 miliar.
Dalam pertemuan tersebut dijelaskan bagaimana pembelian lahan tersebut serta perkembangan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dari tahun 2010. BPK memandang adanya kerugian negara karena adanya perbedaan harga NJOP dari sebuah perusahaan yang berniat membeli lahan RS Sumber Waras pada 2013.
Pada 2013 harga NJOP lahan di wilayah Jakarta Barat tersebut bernilai Rp 12 juta, kemudian pada saat dibeli Pemprov DKI pada 2014 nilai NJOP-nya menjadi Rp 20 juta.
Pihak Dinas Perpajakan yang ikut dalam pertemuan tersebut menjelaskan dari 2010 hingga 2013, NJOP tanah di Jalan Kiai Tapa Rp 12,195 juta. Kemudian pada 2014 meningkat Rp 20,755 juta, dan 2015 nilainya menjadi Rp 23,725 juta.
Namun yang dipertanyakan dalam pertemuan tersebut karena lahan memiliki dua sertifikat dianggap NJOP tanahnya berbeda. Tapi bila lahan tersebut, meski memiliki dua sertifikat, hanya memiliki satu SPPT atas nama Rumah Sakit Sumber Waras.
Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Heru Budi Hartono menjelaskan, berdasar PP Nomor 40 Tahun 2014, pembebasan lahan di bawah 5 hektar tidak harus melalui Panitia Pembebasan Tanah (P2T). Negosiasi pembelian bisa dilakukan langsung antara pemilik tanah dengan Pemprov melalui SKPD dibantu lurah, camat, dan walikota.
"Kalau lahan itu dimiliki satu orang langsung bisa negosiasi atau lebih singkat lagi bisa langsung melalui notaris. Tapi, biasanya dirapatkan dulu paling tidak bertanya apakah tanah ini sengekata atau bermasalah," jelas Heru.
Awalnya, pihak RS Sumber Waras memang tidak mau menjual kepada Pemprov DKI Jakarta dan sudah ditransaksikan dengan sebuah perusahaan. Rencananya lahan tersebut akan digunakan untuk membangun mal. Tapi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tidak memberikan ijin mengubah peruntukan lahan itu dari rumah sakit ke komersil.
Sampai akhirnya, pihak RS Sumber Waras meminta bertemu dengan Ahok guna menawarkan lahan itu. Akhirnya, Ahok menyetujui membeli satu lahan di RS Sumber Waras untuk dijadikan rumah sakit jantung dan kanker.
"Satu zona Sumber Waras itu ada dua sertifikat. Satu bermasalah, satu kita beli. Dua sertifikat itu bagian dari 1 zona yang ada di Jalan Kiai Tapa," ucap Heru.
Hal inilah yang masuk dalam evaluasi BPK yang menilai seharunya nilai jual lahan yang dibeli Pemprov DKI Jakarta berada di zona Jalan Tomang, bukan Jalan Kiai Tapa. Padahal, RS Sumber Waras masuk zona Kiai Tapa.
"Yang namanya zona walau dibelah lima atau enam kalau menjadi satu zona, ya zona (NJOP) Rp 20 juta itu. Walau sudah dibeli atau dikasih jalan bukan ke Kiai Tapa atau Tomang tetap saja itu bukan berarti Tomang, tetap menjadi zona yang sudah ditetapkan (Kiai Tapa)," ungkap Heru.
Sejak 2012, Pemprov DKI Jakarta memiliki kewenangan mengubah zona satu wilayah, tapi itu tidak dilakukan sama sekali. Dari 1994 zona itu tidak pernah diubah karena zona Kiai Tapa. Begitu dibeli Pemda DKI bukan berarti sebagian menjadi Zona Tomang.
Hal itu juga sudah disampaikan kepada auditor BPK. Seluruh data baik permasalahan zona maupun NJOP yang ditetapkan di zona itu sudah diserahkan. Hanya saja, BPK tampaknya tidak mengindahkan data yang disampaikan Pemprov DKI Jakarta.
"BPK mengecek langsung ke lapangan katanya. Katanya sebaiknya harganya ikut Tomang tapi kan kita menurut data-data itu zona Kiai Tapa. Harusnya data yang kita kasih dikaji," ujar Heru.
Perbedaan persepsi ini akhirnya berujung pada evaluasi yang tercantum dalam LHK DKI Jakarta tahun anggaran 2014. Heru menegaskan, pihaknya sangat terbuka untuk diaudit akuntan publik independen dengan ranking 5 besar dunia.
"Pemda DKI Jakarta terbuka saja kalau mau diaudit pakai akuntan publik. Tapi harus 5 besar internasional atau DJKN (Direktorat Jenderal Keuangan Negara) silakan saja," tutup Heru.