Usut 'Cessie' BPPN, Komisi XI: Kejagung Harus Gandeng BPK dan BPKP
proses penegakan hukum akan mengalami kendala bilamana tidak melibatkan lembaga berwenang untuk menghitung ada tidaknya kerugian negara
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi XI DPR RI, Fadel Muhammad mempertanyakan sikap Kejaksaan Agung dalam proses penegakan hukum dalam kasus pembelian hak atas piutang (cessie) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang dilakukan PT Victoria Securities Indonesia pada 2003, terindikasi terjadi kerugian negara.
Diketahui, hingga kasus ini bergulir belum ada nominal pasti kerugian negara dalam penanganan kasus tersebut. Bahkan, Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan baru akan melakukan koordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung kerugian yang ada.
Fadel mengatakan, jika koordinasi untuk menghitung kerugian negara itu sangat diperlukan, sehingga tidak dapat dikatakan adanya kerugian negara, bila tidak menyertakan hasil laporan audit keuangan.
"Harus menggandeng BPK dan BPKP," kata Fadel kepada wartawan usai rapat pleno Fraksi Partai Golkar, di Gedung DPR RI, Senayan, Senin (24/8/2015).
Menurutnya, proses penegakan hukum akan mengalami kendala bilamana tidak melibatkan lembaga berwenang untuk menghitung ada tidaknya kerugian negara, sehingga dapat dinyatakan terindikasi tindak pidana korupsi.
"Kalau tidak (melibatkan) akan repot (menimbulkan persoalan baru)," katanya.
Sementara itu, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Azis saat dikonfirmasi belum mengetahui hal tersebut. Dirinya justru cenderung masih belum mengetahui duduk perkara masalah ini.
"Saya mesti cek dulu kasusnya," kata Harry saat dihubungi.
"Hubungi saja Humas BPK, Yudi Ramdan," tambahnya.
Diketahui tuduhan kerugian negara yang dituduhkan Kejaksaan Agung kepada PT Victoria Securities International Corp (VSIC) dan PT Victoria Securities Indonesia (VSI) terkait kasus pengalihan hak atas piutang (cessie) Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sampai saat ini belum terungkap.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung dinilai salah alamat saat melakukan penggeledahan kantor PT Victoria Investama (VI) dan PT Victoria Sekuritas Indonesia (VSI).
Seharusnya Satgasus Kejagung menyasar Victoria Securities Internasional Corporation (VSIC). VSIC merupakan perusahaan yang pernah membeli cessie milik PT Adistra Utama dari BPPN pada 1998 lalu. Saat itu, cessie PT Aditra dilelang oleh BPPN karena perusahaan tersebut tidak sanggup membayar hutangnya kepada Bank Tabungan Negara (BTN) sebesar Rp469 miliar.
Alih-alih dibeli dengan harga tinggi, cessie milik PT Adyaesta Tiptatama Group (AG) ternyata hanya ditebus dengan harga Rp26 miliar oleh VSIC.
Ketika PT Adyaesta Tiptatama Group (AG) ingin menebus cessie miliknya dengan harga yang sama di kemudian hari, VSIC pun menolak. Perusahaan sekuritas tersebut memasang harga Rp2,1 triliun agar cessie PT Adyaesta Tiptatama Group (AG) dapat dikembalikan.
Karena pelunasan cessie terhalang, maka PT Adyaesta Tiptatama Group (AG) melaporkan tindakan VSIC ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada 2012 silam. PT Adyaesta Tiptatama Group (AG) menduga ada praktik korupsi yang dilakukan oknum BPPN dengan VSIC saat mengalihkan cessie milik mereka.
Setelah pengusutan berhenti cukup lama, Kejagung sejak Mei lalu pun mengambil alih perkara dugaan korupsi dalam penjualan cessie oleh BPPN. Penggeledahan pun dilakukan di VSIC sebagai tindak lanjut pengusutan perkara tersebut.