DPRD DKI Bentuk Pansus RS Sumber Waras, Tapi Ogah Bentuk Pansus UPS
Pimpinan DPRD DKI Jakarta kompak mengatakan pihaknya tidak akan membentuk panitia khusus (Pansus)
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pimpinan DPRD DKI Jakarta kompak mengatakan pihaknya tidak akan membentuk panitia khusus (Pansus) terkait korupsi pengadaan uniterruptible power suply (UPS).
Para pimpinan tersebut berpendapat kasus tersebut sudah di ranah hukum dan kini sedang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta.
"UPS kan udah proses hukum bagaimana. Mau di-pansus-in," kata Wakil Ketua DPRD DKI, dari fraksi Gerindra M Taufik, di KPK, Jakarta, Jumat (30/10/2015).
Senada dengan Taufik, Wakil Ketua DPRD sekaligus politikus Partai Keadilan Sejahtera Triwisaksana mengatakan pembentukan pansus justru bisa menimbulkan intervensi hukum terhadap kasus tersebut.
"(Kasus) UPS sudah masuk ranah hukum. Kita nggak bisa intervensi hukum," kata Triwisaksana pada kesempatan yang sama.
Dalam sidang dakwaan Alex Usman, disebutkan peran Ketua Komisi E DPRD DKI HM Firmansyah dan anggotanya, Fahmi Zulfikar Hasibuan agar pengadaan UPS masuk ke dalam APBD-Perubahan tahun anggaran 2014.
Mengenai hal itu, DPRD DKI menilai itu adalah urusan pengadilan untuk memanggil siapa saja yang dianggap perlu dipanggil.
"Urusan pengadilan nanti manggil siapa yang disebut," tambah Wakil Ketua DPRD DKI yang juga kader Partai Persatuan Pembangunan, Abraham Lunggana alias Lulung.
Pimpinan DPRD DKI dan Pansus DPRD DKI hari ini resmi mengadukan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai hasil audit Rumaha Sakit Sumber Waras.
Menurut Lulung, penyerahan LHP ke KPK karena mendapat perhatian khusus dari masyarakat. Kata Lulung, pelaporan tersebut sesuai dengan Peraturan Mendagri nomor 13 tahun 2010.
Wakil Ketua Pansus, Prabowo Soenirman, mengatakan pelaporan tersebut karena tidak ada itikad baik dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membatalkan pembelian lahan RS Sumber Waras.
Dalam LHP tersebut, kata Prabowo, disebutkan indikasi kerugian negara mencapari Rp 191 miliar.