Cikal Bakal Pasar Pramuka Jadi 'Sarang' Pemalsuan Dokumen
Di sanalah mahasiswa di Jakarta merampungkan naskah skripsi mereka dengan mesin tik.
Editor: Hendra Gunawan
Setelah lulus kuliah, Jarkasyi sempat bekerja sebentar, lalu di akhir 1980an dia tergiur mendengar perputaran uang di pasar skripsi.
Kemudian Ia mendirikan percetakannya sendiri dan jasa pengetikannya tak jauh dari Pasar Skripsi itu. Para pekerjanya adalah orang-orang yang tadinya bekerja di pasar skripsi, lalu Ia tawari bagi hasil 40 persen untuk setiap lembar ketikannya.
Akhir 1980-an Jarkasyi menyebut sebagai masa baik untuk jasa pengetikannya. Dia mendapat untung besar. Di tahun 1990an awal dia masih berjaya. Mahasiswa masih menumpuk disana mengandalkan jasa ketik.
Tapi pertengahan tahun 1990-an, ketika krisis moneter terjadi dan teknologi komputer mulai muncul, pasar skripsi terkena imbasnya.
"Order ketikan mulai turun di tahun-tahun itu. Bahkan ditahun 1998 saya bangkrut. Orderan mengetik benar-benar anjlok. Habis bisnis saya," kata Jarkasyi.
Bahkan seingat Jarkasyi, pemilik kios di pasar skripsi juga banyak yang bangkrut. Makanya Jarkasyi berpendapat, krisis moneter dan munculnya komputer memang merusak pasar skripsi. "Sejak itulah pemalsuan mulai marak di pasar itu," kata Jarkasyi.
Dia nyaris yakin bahwa menerima order pemalsuan adalah cara para pemilik kios lolos dari krisis moneter dan jasa ketik yang mulai tak dibutuhkan.
Namun, cikal bakal pemalsuan, ingat Jarkasyi, sebenarnya sudah muncul sejak awal 1990an. Saat itu sudah ada beberapa penipu yang masuk dan minta dibuatkan berkas palsu.
Bahkan ketika itu Jarkasyi jadi korban karena mencetak sebuah selebaran yang mencatut nama Menkopolhukkam.
Sedangkan beberapa pengetik di pasar skripsi, terpaksa harus berurusan dengan polisi karena merancang selebaran itu dan mengetiknya. "Kami sampai ikut sidang dulu," kata Jarkasyi. (Theo Yonathan Simon Laturiuw)