Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Cikal Bakal Pasar Pramuka Jadi 'Sarang' Pemalsuan Dokumen

Di sanalah mahasiswa di Jakarta merampungkan naskah skripsi mereka dengan mesin tik.

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Cikal Bakal Pasar Pramuka Jadi 'Sarang' Pemalsuan Dokumen
Wartakotalive.com/Budi Sam Law Malau
Ilustrasi 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Polisi menyebut Pasar Pramuka-Jati sebagai sarangnya sindikat pemalsu berbagai dokumen di tahun 2015. Mulai dari ijazah palsu hingga piagam palsu banyak di buat di tempat itu.

Tapi 5 dekade lalu, pasar itu dikenal sebagai pasar skripsi terbesar di Jakarta. Disanalah kebanyakan mahasiswa di Jakarta merampungkan naskah skripsi mereka dengan mesin tik.

Pasar ini masuk wilayah RW 06, Kelurahan Paseban, Kecamatan Senen,Jakarta Pusat. Lebih dikenal dengan Pasar Pramuka Pojok. Jarkasyi Royani (62), warga RW 06 sejati, tahu betul sejarah pasar tersebut.

Dia lahir tahun 1953 disana dan besar tak jauh dari pasar itu. Bahkan semasa kuliah, Jarkasyi merampungkan pengetikan skripsinya di tempat itu.

Saat Jarkasyi SD di tahun 1960an, dia ingat di pagi hari pasar itu adalah pasar sayuran dan buah. Tapi setelah siang hari, pasar itu berubah jadi kios-kios kelontong.

Kemudian malam hari, pasar itu berubah jadi pasar loak dan kebanyakan menjual buku-buku bekas. "Saya sering beli buku bekas di pasar itu dulu kalau malam hari," kata Jarkasyi.

Dulu, kata Jarkasyi, di tahun 1960-an pasar itu berada di ujung kampung, dan memang hanya ada pasar itu di sana. Saat itu jalan di seputar Matraman masih kecil dan berupa tanah. Saat hujan turun, jalanan jadi becek.

Berita Rekomendasi

Kemudian baru di akhir 1970-an, pasar itu mulai berubah jadi pasar skripsi. Pasar sayur memang tak pernah ramai dikunjungi, tak terlalu laku.

Jarkasyi sendiri mulai keluar masuk ke pasar skripsi di tahun 1983 - 1984, saat ia merampungkan skripsinya.‎ Dia dulu kuliah D3 Akuntansi di Universitas Jayabaya.

Di pasar itulah para jago ketik di mesin ketik kuno bekerja. "Dulu mengetik itu semacam keahlian khusus. Apalagi kalau harus mengetik rangkap 9 atau 10," kata Jarkasyi.

Dan dulu skripsi harus dibuat rangkap 9 bahkan 10. Makanya mahasiswa seluruh Jakarta amat mengandalkan jasa ketik di pasar itu, termasuk Mahasiswa Universitas Indonesia dan UNJ.

"Butuh tenaga yang besar untuk mengetik rangkap 9 atau 10. Orang yang tak mahir akan kesulitan dan banyak salahnya," ujar Jarkasyi.

Jarkasyi ingat pasar itu tak nyaman saat berubah jadi pasar skripsi. Suasananya pengap, orang merokok saat mengetik skripsi, lalu saat hujan air menggenang di dalam pasar karena saluran air di sekitarnya mampat.

"Tapi saya bisa sampai malam hari disana saat skripsi," kata Jarkasyi sambil tertawa lebar.

Setelah lulus kuliah, Jarkasyi sempat bekerja sebentar, lalu di akhir 1980an dia tergiur mendengar perputaran uang di pasar skripsi.

Kemudian Ia mendirikan percetakannya sendiri dan jasa pengetikannya tak jauh dari Pasar Skripsi itu. Para pekerjanya adalah orang-orang yang tadinya bekerja di pasar skripsi, lalu Ia tawari bagi hasil 40 persen untuk setiap lembar ketikannya.

Akhir 1980-an Jarkasyi menyebut sebagai masa baik untuk jasa pengetikannya. Dia mendapat untung besar. Di tahun 1990an awal dia masih berjaya. Mahasiswa masih menumpuk disana mengandalkan jasa ketik.

Tapi pertengahan tahun 1990-an, ketika krisis moneter terjadi dan teknologi komputer mulai muncul, pasar skripsi terkena imbasnya.

"Order ketikan mulai turun di tahun-tahun itu. Bahkan ditahun 1998 saya bangkrut. Orderan mengetik benar-benar anjlok. Habis bisnis saya," kata Jarkasyi.

Bahkan seingat Jarkasyi, pemilik kios di pasar skripsi juga banyak yang bangkrut. Makanya Jarkasyi berpendapat, krisis moneter dan munculnya komputer memang merusak pasar skripsi. "Sejak itulah pemalsuan mulai marak di pasar itu," kata Jarkasyi.

Dia nyaris yakin bahwa menerima order pemalsuan adalah cara para pemilik kios lolos dari krisis moneter dan jasa ketik yang mulai tak dibutuhkan.

Namun, cikal bakal pemalsuan, ingat Jarkasyi, sebenarnya sudah muncul sejak awal 1990an. Saat itu sudah ada beberapa penipu yang masuk dan minta dibuatkan berkas palsu.

Bahkan ketika itu Jarkasyi jadi korban karena mencetak sebuah selebaran yang mencatut nama Menkopolhukkam.

Sedangkan beberapa pengetik di pasar skripsi, terpaksa harus berurusan dengan polisi karena merancang selebaran itu dan mengetiknya. "Kami sampai ikut sidang dulu," kata Jarkasyi. (Theo Yonathan Simon Laturiuw)

Sumber: Warta Kota
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas