Ketua DPRD DKI Dinilai Punya Kesamaan dengan Ketua DPR Setya Novanto
Peneliti ICW, Abdullah Dahlan heran mengapa Prasetio tidak menggunakan auditor dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi dan Ketua DPR RI Setya Novanto memang punya inisiatif yang berbeda, tapi punya kesamaan yakni sama-sama diduga melanggar kode etik.
Setya diduga mencatut nama Presiden Joko Widodo terkait perpanjangan kontrak PT. Freeport karena berinisiatif untuk kepentingan masyarakat Papua.
Sedangkan Prasetio berinisiatif menggunakan auditor independen untuk menyisir Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) DKI 2016 dengan menggunakan jasa auditor independen..
Hal itu diungkapkan Manager Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Apung Widadi.
Apung mempertanyakan siapa auditor indepen tersebut dan motif dibelakangnya.
"Jangan sampai inisiatif itu, akan berujung seperti Ketua DPR Setya Novanto nantinya (yang diduga melanggar kode etik)," kata Apung di kantor Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, Minggu (29/11/2015).
Peneliti ICW, Abdullah Dahlan heran mengapa Prasetio tidak menggunakan auditor dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Kenapa harus cari auditor independen? Harusnya (DPRD DKI) ada trust (kepada BPK)," ucap Abdullah.
Demi meluruskan dugaan pelanggaran kode etik, Peneliti Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam meminta Prasetio untuk membuka kepada publik dan mengklarifikasi darimana asal dana dan temuan tersebut.
Pasalnya, bila Pras menggunakan dana DPRD atas nama sendiri, maka bisa saja dipandang melanggar kode etik kata Abdullah.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Pasal 26 menyebutkan,
"Penganggaran atau tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban belanja DPRD untuk tujuan lain di luar ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah ini, dinyatakan melanggar hukum"
Dalam PP tersebut, penganggaran atau belanja yang diperbolehkan adalah; belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas, belanja pemeliharaan, dan belanja modal.
Pada Pasal 24 ayat (1) disebutkan 'Belanja Penunjang Kegiatan disediakan untuk mendukung kelancaran tugas, fungsi dan wewenang DPRD'. Pada ayat (2) disebutkan 'Belanja Penunjang Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan Rencana Kerja yang ditetapkan Pimpinan DPRD'.
"Apa ini anggaran dari dewan? Apakah ini diketahui seluruh pimpinan? Kalau sendiri, perlu ditanya, apalagi jika mengatasnamakan DPRD. Kalau bermasalah, ini bisa diduga melanggar kode etik," ujar Peneliti Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam.
Sebelumnya Prasetio menyebut, ada temuan anggaran KUA-PPAS DKI 2016 tanpa neomenklatur yang besarannya mencapai Rp 1,88 Triliun.
"Jadi dari hasil temuan auditor independen kami, dananya saja ada, tetapi nama kegiatannya tidak ada," ujar Pras
Berikut daftar dinas dan total anggaran tanpa kegiatan:
1. Dinas Pendidikan Rp 1,39 triliun
2. Suku Dinas Pendidikan II Jakarta Timur Rp 550 juta
3. Rumah Sakit Umum Daerah Kepulauan Seribu Rp 92,5 juta
4. Unit Penyelenggaran Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Daerah Rp 400 miliar
5. Rumah Sakit Umum Kecamatan Sawah Besar Rp 2,26 miliar
6. Dinas Perhubungan dan Transportasi Rp 68,59 miliar
7. Unit Pengelola ERP Rp 2 miliar
8. Unit Pengelola Kereta Api Ringan Rp 1,78 miliar
9. Badan Promosi dan Penanaman Modal Rp 5,71 miliar
10. Unit Pengelola Gelanggang Remaja Jakarta Timur Rp 1,90 miliar
11. Biro Perekonomian Rp 1,08 miliar.