Ratna Sarumpaet: Saya Jadi Tahanan Mobil
Tidak jauh dari lokasi penggusuran, Ratna sambil duduk bersimpuh tampak sedang menghubungi seseorang dengan nada emosi.
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketika alat berat sudah muai beroperasi maratakan bangunan di Kawasan Pasar Ikan dan Kampung Aquarium, Penjaringan Jakarta Utara, Senin (11/4/2016), seniman sekaligus aktivis sosial Ratna Sarumpaet tampak sibuk dengan telepon genggamnya.
Tidak jauh dari lokasi penggusuran, Ratna sambil duduk bersimpuh tampak sedang menghubungi seseorang dengan nada emosi.
Ternyata pendiri Ratna Sarumpaet Crisis Center tersebut terjabak di depan Cafe Galangan yang jaraknya 500 meter dari Kampung Aquarium.
Lebih dari lima jam setelah Ratna diamankan polisi di depan kampung yang akan diratakan, kendaraannya yang berada di pelataran parkir cafe tidak bisa keluar.
Mobil sedan proton hitam yang ditumpangi Ratna, terhalang mobil SUV putih bertuliskan provos Satbrimobda Metro Jaya.
Sementara 50 meter dari lokasi Ratna belasan polisi berseragam tampak sedang duduk memantau jalan menuju lokasi penggusuran.
Ratna sudah meminta berulang kali kepada petugas, namun permintaannya tersebut tidak digubris. Bahkan perempuan 66 tahun tersebut sempat menghubungi Kapolri.
Melalui pesan singkat ia memberitahukan kondisinya kepada Jenderal Badrodin Haiti.
"Dibilangnya sabar, sabar oleh petugas di sini, masa memindahkan mobil saja sampai berjam-jam. Ini saya jadi tahanan mobil," ujar Ratna kepada Tribunnews di lokasi penggusuran.
Ratna menuding apa yang dilakukan polisi sengaja agar dirinya "terkurung" sehingga tidak dapat kemana-mana. Padahal menurutnya, ia sudah mengatakan akan segera pulang.
"Saya sudah bilang tadi mau pulnag, tapi tetap saja mobil saya tidak bisa keluar," katanya.
Ratna Sarumpaet mengaku saat mendampingi warga dan menyampaikan tuntutannya, ia tiba-tiba dibawa oleh belasan Polwan.
Ratna yang mengenakan kebaya ungu dan cokelat dicengkram kuat oleh para Polwan saat menggiringnya. Bahkan ia sempat akan digendong petugas.
"Mungkin takut saya kabur," katanya.
Selain itu menururtnya, ia sempat akan dimasukkan ke dalam mobil tahanan milik Kepolisian yang berada di lokasi penggusuran.
Hanya saja saat akan dimasukkan ke dalam mobil, dia langsung mengultimatum petugas. Menurutnya aparat kepolisian tidak memiliki dasar memasukkannya ke dalam mobil tahanan.
Setelah diultimatum, petugas tidak jadi menahannya. Ia dibawa ke mobilnya yang terparkir di depan Cafe. Hanya saja mobil tersebut tidak dapat keluar.
"Saya mau dimasukin ke mobil tahanan yang ada jerujinya yang besar. Lalu saya bilang 'hey stop dulu berhenti dulu kau'. Saya dosa apa, kejahatan apa yang saya lakukan?" tanyanya kepada petugas.
Menginap di Pasar Ikan
Perempuan yang terkenal dengan Monolog Marsinah di Zaman orde Baru tersebut mengaku bingung dengan perlakuan polisi yang "menahannya".
Menurut Ratna, ia tidak melakukan provokasi kepada warga untuk melawan.
"Apa yang aku prvolokasi? Melawan? Engga harus diprovokasi mereka (warga Pasar Ikan) udah melawan, orang Tanjung Priok tuh pelawan, petarung. Jadi salah apabila saya dikatakan memprovokasi. Dianggap provokator itu salah alamat," paparnya.
Ratna mengatakan ia hanya melakukan pendampingan kepada warga. Beberapa hari terakhir ia concern mendampingi warga Pasar Ikan agar diberi keadilan. Bahkan ia mengaku malam sebelum penggusuran ia menginap di Pasar Ikan.
"Saya dari semalem sudah ke sini, menemani mereka salat isthigozah, berdialog," katanya.
Menurut Ratna warga Pasar Ikan dan Kampung Aquarium meminta penangguhan penggusuran. Permintaan tersebut lantaran belum adanya kejelasan menegai relokasi, dan lainnya.
Sebagai tindak lanjut dari permintaan warga tersebut, ia mengirimkan surat kepada Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
"Dalam surat itu saya kasih beberapa alasan bahwa (penggusuran) masih ada yang simpang siur. Namun surat itu tidak ditanggapi," katanya.
Kesimpangsiuran tersebut yakni belum seluruhnya warga menerima kunci Rusun. Sebab warga korban penggusuran direlokasi ke Rusun Marunda dan Rawa Bebek. Dari 300-an Kepala keluarga baru 100 KK yang menerima kunci.
"Misalnya bahwa kunci Rusun sudah diberikan kepada 300 KK. Padahal yang sudah menerima itu hanya mereka yang ngontrak, dan yang ngontrak itu hanya 100 KK. Justru yang 300 yang masih bertahan, mereka yang memiliki lahan, dan mereka yang mengontrakkan kepada yang 100 orang itu. Itu kan berarti salah," katanya.
Kesimpangsiuran tersebut menurutnya disebabkan tidak adanya dialog antara Pemprov DKI dengan warga. Pemprov hanya melayang pemberitahuan, peringatan, lalu melakukan penggusuran.
Berbeda dengan Kampung Pulo, menurut Rtana, sebelum penggusuran warga diajak berdialog dahulu.
"Tidak ada dialog. Kampung Pulo itu lewat dialog lamanya dua tahun perundingan. Kalau ini tidak ada perundingan sama sekali. Tahu-tahu ada pemberitahuan. Habis pemberitahuan, 10 hari kemudian datang SP (surat peringatan) 1. SP 1 baru ditempuh dua hari sudah dapat SP 2. Jadi sesuka hati, gitu," paparnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.