SK Gubernur DKI Langgar Hukum, Hakim Harus Cabut Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta akan memutuskan gugatan izin reklamasi Pulau G pada tanggal 31 Mei 2016.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta akan memutuskan gugatan izin reklamasi Pulau G pada tanggal 31 Mei 2016.
Proses persidangan gugatan nelayan dan organisasi lingkungan hidup terhadap izin pelaksanaan reklamasi yang dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta telah berlangsung selama 9 bulan.
"Jika melihat permasalahan pelaksanaan reklamasi yang terlihat secara jelas adanya berbagai pelanggaran kewenangan, prosedur dan substansi, maka seharusnya putusan yaitu mencabut surat keputusan terkait izin pelaksanaan Pulau G," kata anggota LBH Jakarta Tigor Hutapea dalam jumpa pers di kawasan Cikini, Jakarta, Minggu (22/5/2016).
Tigor mengungkapkan adanya permasalahan terkait pelaksanaan reklamasi. Permasalahan tersebut bukan datang dari opini masyarakat, tetapi berasal dari fakta yang disampaikan di pengadilan, kajian dari institusi pemerintah, dan kajian yang dibuat akademisi maupun masyarakat sipil.
Pertama, permasalahan terbesar dari pelaksanaan reklamasi Pulau G yaitu pelakasanaannya yang koruptif, terbukti dari fakta ditangkapnya anggota DPRD dan Presiden Direktur Agung Podomoro Land yang juga menjabat Direktur Utama sebagai dari PT Muara Wisesa, pemegang izin reklamasi Pulau G oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Ihwal tersebut menunjukkan bahwa, proyek reklamasi Pulau G dilakukan dengan itikad buruk," kata Tigor.
Kedua, Tigor menyampaikan fakta yang disampaikan di dalam gugatan terhadap izin pelaksanaan reklamasi Pulau G, Pemerintah, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menemukan beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pihak Pengembang.
Salah satu pelanggaran yang telah dibuktikan KLHK yang juga disampaikan di dalam gugatan yaitu di dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Pulau G tidak dijelaskan dari mana sumber material pasir untuk reklamasi didapatkan.
"Apabila dibiarkan, hal tersebut pasti akan membahayakan kondisi lingkungan hidup yang juga akan berdampak pada masyarakat, terutama nelayan dan masyarakat pesisir," ujarnya.
Ketiga, kata Tigor, pelanggaran prosedural dari diterbitkannya izin pelaksanaan reklamasi jelas terjadi.
Berdasarkan UU 27 Tahun 2007, Izin pelaksanaan reklamasi tidak dapat dikeluarkan dengan hanya didasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilyah (RTRW), tetapi harus didasarkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).
"Dalam hal ini, seharusnya izin pelaksanaan reklamasi Pulau G tidak dapat diterbitkan karena sampai saat ini, Provinsi DKI Jakarta belum memiliki Peraturan Daerah RZWP3K," imbuhnya.
Keempat, Tigor yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta, mengatakan pelaksanaan reklamasi tidak sah karena dilakukan secara tidak transparan dan partisipatif sebagaimana disampaikan oleh para nelayan pada proses persidangan. Dimana tidak sesuai dengan UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Terakhir, ujarnya, kesaksian ahli terkait dampak lingkungan yang akan ditimbulkan dari proyek reklamasi harus benar-benar dipertimbangkan.
Menurut salah satu saksi ahli, Alan Koropitan, keberadaan reklamasi Jakarta akan membuat sedimentasi yang terjadi di Teluk Jakarta menjadi semakin parah, 50 cm pertahunnya.
Konsekuensinya, Jakarta akan terendam banjir ketika 13 aliran sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta terhambat alirannya.
"Logam berat yang ada di Teluk Jakarta sejak adanya pembangunan masif dari tahun 1970 akan mengumpul di Teluk Jakarta karena kemampuan arus laut untuk mencuci secara alamiah akan jauh berkurang setelah adanya proyek reklamasi. Akibatnya, Teluk Jakarta akan menjadi comberan berisikan limbah mengandung logam berat," jelasnya.
Ia menilai sejumlah fakta tersebut sudah cukup untuk meyakinkan hakim untuk mempertimbangkan bahwa Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menunjukkan ketidakpastian ilmiah yang dapat berdampak pada kerusakan lingkungan yang masih.
"Kami berharap, majelis hakim yang terhormat secara tegas mencabut SK pelaksanaan reklamasi tersebut," imbuhnya.