PPI Belanda: Reklamasi Teluk Jakarta Ide Kuno, Sudah Ditinggalkan Negara Maju
Menurut Hero, pendekatan hard infrastructure seperti reklamasi pulau dan pembuatan tanggul besar sudah lama ditinggalkan Belanda.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Belanda menilai bahwa rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk melakukan reklamasi pulau dan membentuk Giant Sea Wall adalah ide yang ketinggalan zaman.
Ide tersebut telah ditinggalkan negara-negara maju, termasuk di Belanda. Hal itu merupakan salah satu kesimpulan diskusi “reklamasi Teluk Jakarta”.
Diskusi tersebut terselenggara atas kerja sama PPI kota Den Haag dan Forum Diskusi Teluk Jakarta di Kampus International Institute of Social Studies, Sabtu (18/6/2016) lalu.
Diskusi digelar usai acara nonton bersama (nobar) film dokumenter tentang reklamasi teluk Jakarta yang bertajuk “Rayuan Pulau Palsu”.
Mahasiswa program Doktoral dari University of Twente, Hero Marhaento mengatakan, proyek reklamasi Teluk Jakarta dan Giant Sea Wall merupakan sebuah ironi.
Terlebih, pembangunan tersebut dibantu oleh perusahaan dan konsultan asal Belanda.
Menurut Hero, pendekatan hard infrastructure seperti reklamasi pulau dan pembuatan tanggul besar sudah lama ditinggalkan Belanda.
“Yang membuat saya heran mengapa di saat pembangunan di Belanda sendiri mulai meninggalkan konsep-konsep konvensional berupa hard-infrastructure seperti pembuatan tanggul raksasa atau reklamasi pulau, para pakar dan konsultan Belanda malah menyarankan pembuatan Giant Sea Wall bagi masalah banjir Jakarta,” kata Hero, Senin (20/6/2016), seperti yang dikutip dari pernyataan pers PPI Belanda.
Hero menyebut, Belanda menggunakan "sand nourishment" untuk membuat pertahanan di pesisir, yaitu dengan pembuatan jebakan-jebakan pasir di wilayah yang rawan abarasi.
Pasalnya, upaya mitigasi banjir di Belanda justru dilakukan dengan merobohkan tanggul-tangggul sungai yang sudah ada dan menggantinya dengan konsep "Room for the River".
"Dua metode tersebut terbukti jauh lebih murah, lebih efektif dan ramah lingkungan dibandingkan dengan upaya hard-infrastructure seperti reklamasi pulau dan pembuatan tanggul raksasa," kata dia.
Penulis: Lutfy Mairizal Putra