Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Astaga Mengerikan! Ini Fakta-fakta, Latar Belakang dan Awal Mula Pelaku Palsukan Vaksin

Bukan sekedar tuntutan ekonomi, ternyata begini awal mulanya pelaku memulai kiprahnya. Ada kesempatan, melihat peluang dan banyak botol berserakan.

Editor: Robertus Rimawan
zoom-in Astaga Mengerikan! Ini Fakta-fakta, Latar Belakang dan Awal Mula Pelaku Palsukan Vaksin
FACEBOOK
Foto tersangka pemalsu vaksin jadi viral di Facebook, netizen mengutuk tindakan kedua orang ini. 

TRIBUNNEWS.COM - Bukan hanya sekedar tuntutan ekonomi, ternyata begini awal mulanya pelaku memulai kiprahnya. Ada kesempatan, melihat peluang dan banyak botol berserakan, Selasa (28/6/2016).

Hidayat Taufiqurahman dan Rita Agustin pasangan suami istri yang melakukan perbuatan keji, tega palsukan vaksin memulai kiprahnya karena melihat peluang.

Pasutri ini memanfaatkan peluang lantaran banyak rumah sakit yang sering mengalami kekurangan stok vaksin.

Selain itu banyak botol bekas vaksin yang berserakan dan dikumpulkan oleh Rita.

Hal inilah yang dimanfaatkan pasutri ini dengan membuat vaksin palsu, berdasar jaringan dan kepercayaan antar petugas medis ia kemudian memasarkan vaksin tersebut.

Harga vaksin yang murah menjadi daya tarik sehingga vaksin palsu buatannya laris manis.

Seorang rekan Rita membeberkan kisahnya.

Berita Rekomendasi

Hidayat Taufiqurahman, sehari-harinya bekerja sebagai perawat di sebuah klinik di perusahaan produsen sepeda motor.

Sebelumnya dia bertugas sebagai perawat di ruang bedah di sebuah rumah sakit swasta di Bekasi.

Istri Hidayat, Rita Agustina, awalnya juga bekerja di tempat yang sama dengan sang suami.

Rita dulu juga perawat di rumah sakit swasta di Bekasi itu.

Setelah menikah, keduanya keluar dari rumah sakit tersebut.

Hidayat pindah menjadi perawat di klinik produsen sepeda motor sedang sang istri memilih menjadi ibu rumah tangga.

Sejumlah rekan Rita yang juga mantan perawat mengaku terkejut mengetahui bahwa Rita dan suami menjalani profesi sebagai pembuat vaksin palsu.

"Saya tidak menyangka dengan perbuatannya, karena selama ini tidak mengetahui pekerjaan sampingannya sebagai produsen dan distributor obat," ujar S, rekan Rita di RSIA Hermina Bekasi Selatan.

Meski begitu, S mengaku cukup mengenal sosok Rita karena mereka berdua pernah tinggal bersama di sebuah indekos sebelum Rita menikah.

Setahu S, Rita memang sering kepergok mengumpulkan botol bekas vaksin yang sudah dipergunakan oleh rumah sakit.

Pengumpulan botol ini tentunya tidak diketahui oleh pihak rumah sakit, karena bila mengacu prosedur harusnya botol bekas vaksin dimusnahkan.

Rita mengungkapkan, botol-botol yang dikumpulkan Rita adalah botol bekas vaksin seperti hib, infanrix, engerix dan vaksin lainnya yang dibanderol dengan harga cukup mahal.

"Dua tahun saya kerja bersama di poliklinik anak, dia bilang hanya dikumpulkan saja. Kalau prosedurnya, seharusnya botol bekas dimusnahkan," ungkapnya.

Menurut S, setelah Rita keluar dari pekerjaannya, mereka berdua pernah bertemu di pusat perbelanjaan.

Saat itu, Rita menceritakan bahwa hidupnya sudah sukses, sehingga mampu membeli rumah elit di Kemang Pratama Regency, Jalan Kumala II M29, RT 09/05, Rawalumbu, Kota Bekasi.

"Bahkan dia sudah beli mobil mewah keluaran terbaru," tutur S. Rita merupakan almuni sebuah Sekolah Perawat Kebidanan (SPK) di Jakarta dan bekerja di RSIA Hermina sejak tahun 1998 dan berhenti kerja sekitar tahun 2009.

Manfaatkan peluang

Seperti dikutip dari Kompas.com Wakil Direktur Umum Rumah Sakit Hermina Bekasi Syarifuddin menduga pasangan suami-istri (pasutri) pembuat vaksin palsu, Hidayat Taufiqurahman dan Rita Agustina, melakukan bisnisnya karena sang istri mengetahui sering terjadi kekosongan vaksin di sejumlah rumah sakit.

Rita diduga mengetahui tingginya kebutuhan vaksin karena dia pernah bekerja sebagai perawat di RS Hermina Bekasi sejak 1998-2007.

"Ini kan peluangnya ada karena sering kekosongan vaksin kan. Dia tahu kan sering kurang ini, kurang ini, kesempatan," ujar Syarifuddin di RS Hermina Bekasi, Senin (27/6/2016).

Kekosongan vaksin dari distributor resmi maupun Dinas Kesehatan disebut masih sering terjadi hingga beberapa bulan belakangan ini.

"Beberapa bulan belakangan ini sempat ada vaksin kosong. Kalau pusat menyatakan kosong, saya bisa apa. Terakhir bulan Mei kemarin," kata Wakil Direktur Medik, Dian Ekawati, dalam kesempatan yang sama.

Manajemen RS Hermina Bekasi berharap pemerintah pusat maupun daerah dapat menyediakan kebutuhan vaksin tersebut.

Ia meyakini praktik-praktik pembuatan vaksin palsu tidak akan terjadi jika kebutuhannya terpenuhi.

"Kalau dari regulasi pemerintah mungkin mendirikan pabrik atau institusi dalam rangka menyediakan vaksin ini lebih baik, saya rasa celah-celah ini kecil, tertutup," ucap Syarifuddin.

Peredaran vaksin palsu, kata Eka, dapat menyebabkan terjadinya endemis kejadian luar biasa (KLB). Anak-anak tidak akan mendapatkan kekebalan tubuhnya karena kemungkinan vaksin yang disuntikan palsu.

"Kasihan kan anak-anak yang harusnya mendapatkan kekebalan, enggak terbentuk kekebalannya. Ini juga bisa jadi endemis KLB, harusnya kita sudah bebas polio, karena vaksinnya palsu, polionya jadi banyak. Bebas campak, karena vaksinnya palsu jadi banyak campak di mana-mana," tutur Eka.

Bantah botol vaksin berserakan

Syarifuddin menambahkan, terkait botol-botol vaksin yang berserakan ia membantah bila hal ini terjadi di rumah sakit Hermina.

Ia memastikan proses pembuangan botol vaksin atau medis di rumah sakit yang dikelolanya sudah berjalan dengan baik.

Dia menjelaskan, setelah vaksin itu digunakan, petugas kebersihan rumah sakit akan memasukannya ke dalam kantong warna kuning yang disimpan di ruang perawatan.

Setelah terkumpul cukup banyak, kata dia, sampah medis itu akan dibuang ke tempat pembuangan sementara (TPS) milik rumah sakit.

Kemudian, pihak ketiga yaitu PT Wastec International akan membawa sampah medis tersebut untuk dibakar di pabriknya yang berada di Tangerang, Banten.

"Jadi, tidak mungkin ada botol bekas yang tercecer apalagi dijual ke luar karena harus dimonitor secara ketat," ujar Syarifuddin.

Menurut dia, botol bekas vaksin merupakan sampah B3 yang artinya limbah berbahaya dan beracun. 

Curigai ada mafia paramedis

Dalam rapat Komisi IX dengan Menteri Kesehatan, Kepala BPOM, Direktur Pemasaran Bio Farma, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (27/6/2016) Komisi IX DPR RI mencecar para pihak dengan berbagai pertanyaan sekaligus dugaan.

Seorang anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani Chaniago menduga pelaku adalah bagian dari mafia produk medis yang melibatkan pekerja medis pra-rumah sakit atau paramedis.

Mereka lah yang membuat praktik produksi dan pemasaran vaksin palsu ini berlangsung bertahun-tahun dan rapi.

"Baru sekarang terbongkar. Ini modusnya rapi sekali. Saya curiga ada mafia, mulai pembuat, pamasok, sampai penerima (di rumah sakit)," kata Irma.

Irma menyangsikan pekeja medis di rumah sakit atau klinik yang menerima dan menggunakan ke balita tidak mengetahui vaksin yang digunakan palsu.

Sebab, dari harga pasaran resmi vaksin asli jenis tertentu berkisar Rp 800 - Rp 900 ribu per botol.

Namun, vaksin palsu yang diproduksi kelompok pelaku hanya dijual Rp 250 - Rp 300 ribu.

"Dari saja paramedis sudah tahu ini vaksin palsu. Tapi, kenapa praktik ini bisa berlangsung sekian lama dan tersimpan rapi. Pasti, ada oknum-oknum bermain," katanya.

Dalam rapat ini, Irma juga mengkritik kerja Menkes, Nila Moeloek dan (Plt) Kepala BPOM, Tengku Bahdar Johan Hamid, terbilang lambat dalam menangani temuan kasus vaksin palsu ini.

"Pemerintah bilang, masyarakat jangan resah. Seharusnya Kementerian Kesehatan dan BPOM sampaikan, kami akan ambil alih masalah ini dengan langkah konkret. Kemarin sudah ada 'kasus anestesi'. Kasus itu belum selesai, muncul lagi masalah baru," ujarnya.

Irma menyampaikan kritik sekaligus kekecewaan terhadap pejabat Kemenkes yang kerap bertahan atau saling melindungi hingga melempar dan menyalahkan pihak lain setiap kali muncul kasus medis.

Padahal, kehadiran Kemenkes adalah dalam rangka melindungi kesehatan seluruh rakyat Indonesia dan tidak sekedar mengontrol rumah sakit pemerintah.

"Contoh kasus DBD, Kementerian Kesehatan juga defense, nggak mau turun ke daerah. Menyalahkan daerah, katanya itu tugas Dinas Kesehatan setempat. Menyalahkan BPOM. Ingat, BPOM itu anggarannya kecil dan sudah dipotong juga. Seharusnya Kemenkes dan BPOM saling support," katanya.

Irma mengharapkan pihak Kemenkes dan BPOM tidak lagi saling menyalahkan atau melempar tanggung jawab begitu muncul suatu kasus medis. (Tribunnews/Abdul Qodir/ Kompas.com/Nursita Sari)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas