Kalah Gugatan dengan Pengamen Salah Tangkap, Polda Metro Jaya Serahkan Pembayaran ke Kemenkeu
Negara juga diperintahkan untuk membayar sebesar Rp 72 juta kepada dua korban salah tangkap tersebut.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Perwakilan Bidang Hukum Polda Metro Jaya AKBP Syamsi menyerahkan sepenuhnya biaya ganti rugi yang diputuskan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ke Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Seperti diberitakan, dua pengamen salah tangkap memenangkan gugatan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Negara juga diperintahkan untuk membayar sebesar Rp 72 juta kepada dua korban salah tangkap tersebut.
"Soal yang uang Rp 36 juta per orang itu kan udah diperintahkan kepada negara melalui Menteri Keuangan, jadi bukan ke kami," ujar Syamsi ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (9/8/2016).
Syamsi menambahkan, pihaknya menghormati keputusan hakim tunggal Totok Sapti Indarto yang memimpin sidang tersebut. Namun menurutnya, dalam putusannya tersebut, Polda Metro Jaya memang tidak dilibatkan untuk ganti rugi.
"Kalau menurut saya karena ini diputuskan tidak melibatkan atau bukan kesalahan kami tapi itu haknya pemohon tidak diatur oleh pasal 95 atau PP 92 tahun 2015," ungkapnya.
"Makanya putusannya tadi mengabulkan sebagian dan menolak sebagian. Jadi urusannya negara cq Kemenkeu," sambung Syamsi.
Seperti diketahui, Setelah resmi dibebaskan karena tidak terbukti bersalah setelah sempat dijatuhkan hukuman pidana perkara pembunuhan, dua pengamen asal Cipulir, Jakarta Selatan, melayangkan gugatan atas kasus salah tangkap itu.
Tak tanggung-tanggung, Andro Supriyanto dan Nurdin Priyanto menggugat Polri dan Kejaksaan Agung membayar ganti rugi atas kasus salah tangkap itu, senilai Rp1 miliar.
Sidang gugatan satu miliar rupiah itu terdaftar dalam nomor perkara 98/Pid.Prap/2016/PN.Jkt.Sel. Dan sidang akan dipimpin Hakim Totok Sapti Indrato.
Permohonan praperadian itu terkait ganti kerugian salah tangkap tersebut, dilakukan setelah adanya putusan kasasi dari Mahkamah Agung, yang menguatkan putusan banding Pengadilan Tinggi Jakarta yang menyatakan keduanya tidak terbukti bersalah dan dibebaskan.
Dalam permohonan praperadilan itu, ada dua pihak yang menjadi termohon dan satu pihak turut termohon. Pertama, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, selaku pihak termohon I. Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, selaku pihak termohon II. Sedangkan untuk pihak turut termohon, Menteri Keuangan.
Kedua pengamen itu, dituduh dan disangka hingga dipidanakan dalam kasus pembunuhan Dicky Maulana di bawah jembatan Cipulir pada akhir Juni 2013.
Mereka ditangkap, ditahan, diproses secara hukum meski pun tidak ada bukti yang mengarahkan mereka sebagai pembunuh Dicky. Hal itu diperkuat dengan adanya putusan banding di Pengadilan Tinggi Jakarta dan juga diperkuat dengan hasil kasasi di Mahkamah Agung.
Andro dan Nurdin, telah dibebaskan dari hukuman tujuh tahun penjara yang divonis oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan setelah Pengadilan Tinggi Jakarta menyatakan keduanya tidak bersalah dan dibebaskan. Namun, Jaksa Penuntut Umum tidak terima dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hasil keputusan Kasasi juga mengokohkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta.
Kasus pembunuhan Dicky Maulana diduga dilakukan enam anak jalanan yang sehari-hari mengamen di Cipulir, Jakarta Selatan. Mereka adalah dua terdakwa dewasa, Andro dan Nurdin, dan empat terdakwa anak di bawah umur yang kasasinya tengah berjalan di Mahkamah Agung (MA). Mereka berinisial FP (16 tahun), F (14 tahun), BF (16 tahun), dan AP (14 tahun).
Pembunuhan Dicky terjadi pada Minggu 30 Juni 2013. Pada 1 Oktober 2013, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan pidana penjara tiga sampai empat tahun, kepada empat terdakwa anak di bawah umur. Sedangkan, dua terdakwa dewasa, masing-masing dihukum tujuh tahun penjara.
Namun, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutus bebas Andro dan Nurdin dalam kasus pembunuhan ini. Pada putusan banding Nomor 50/PID/2014/PT DKI, majelis hakim menyatakan kedua pengamen itu tak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan. (Bintang Pradewo)