Desakan Agar Eks Petugas Kebersihan Terpidana JIS Dibebaskan Terus Bergulir
Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia bisa memberikan keadilan yang patut bagi terpidana dalam kasus JIS.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tuntutan publik agar kriminalisasi kasus Jakarta Intercultural School (JIS) segera dituntaskan terus bergulir. Hal itu dianggap sejalan dengan tuntutan reformasi hukum di Indonesia demi mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan yang objektif.
Sebab, kasus JIS dianggap sebagai salah satu contoh persoalan di mana orang yang tidak bersalah mesti dipenjara lantaran proses hukum yang tidak transparan dan tidak adil.
Menurut peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Miko Ginting, tuntutan itu muncul lantaran kasus JIS ini penuh dengan kejanggalan selama prosesnya. Karena itu, dia berharap Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia bisa memberikan keadilan yang patut bagi terpidana dalam kasus JIS.
“Kami juga sebelumnya pernah menggelar eksaminasi, dan kami melihat bahwa penegakkan hukum dalam kasus ini termasuk ke dalam kategori penyelidikan dengan itikad jahat,” kata Miko dalam keterangan persnya di jakarta.
Dalam kasus JIS ini, Miko menyebut adanya pemutarbalikan proses hukum. Sebab, polisi lebih dulu mencari pelaku baru kemudian menelusuri kejadiannya. Padahal polisi mestinya menelusuri kejadian lebih dahulu sebelum mencari pelaku. Kejanggalan lain dalam proses hukum ini adalah hasil visum dari tiga rumah sakit yang menyatakan tidak ada luka akibat kekerasan seksual seperti yang dituduhkan.
Padahal fakta itu, ujar Miko, mestinya menjadi pertimbangan majelis hakim bahwa kasus ini penuh kejanggalan. Untuk memenuhi rasa keadilan publik, dia pun meminta MA membentuk tim ahli atau tim medis yang khusus untuk menelisik kasus ini. Dia mengatakan cara itu bisa menjadi salah satu indikator bahwa MA memang serius dalam mereformasi hukum di Indonesia.
“Dan tidak perlu ragu untuk membentuk tim tersebut karena termasuk dalam kategori scientific investigation. Australia dan Belanda pernah menggunakan cara tersebut untuk memberikan keadilan bagi publik,” ujar dia.
Menurut juru bicara Front Mahasiswa Hukum Indonesia (FROMHI) Hipatios Wirawan, kejanggalan pada kasus yang terjadi di Jakarta Intercultural School (JIS) merupakan bukti nyata perlunya reformasi sistem hukum Indonesia. Karena itu, dia berharap putusan bebas terhadap para terpidana JIS bisa menjadi salah satu upaya serius pemerintah dalam memberikan hukum yang seadil-adilnya bagi masyarakat.
Apalagi, kata Hipatios, Presiden Joko Widodo saat ini terus mengkampanyekan reformasi sistem peradilan di Indonesia melalui paket-paket kebijakan yang diluncurkan. “Karena itu diperlukan penuntasan kasus ini dengan landasan kebenaran dan keadilan, sejalan dengan arahan dan janji Presiden bahwa perlu reformasi hukum untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap keadilan dan kepastian hukum di Indonesia,” ujar Hipatios.
Sedangkan menurut praktisi hukum yang juga pengacara para terpidana, Saut Irianto Sirajagukguk mengatakan, MA harus segera menerbitkan salinan putusan Kasasi bagi para petugas kebersihan yang sudah 1,5 tahun belum juga turun. Hal itu bertujuan agar para terpidana bisa mengajukan upaya hukum luar biasa melalui Peninjauan Kembali. Sebab, dia sangat yakin bahwa kasus ini merupakan kasus hukum yang dipaksakan.
Saut pun meminta majelis hakim di tingkat PK nantinya bisa melihat masalah ini secara jernih. Apalagi para terpidana secara tegas menyatakan mencabut seluruh keterangan di dalam Berita Acara Pemeriksaan di kepolisian karena mengalami penganiayaan hebat saat diperiksa. “Karena yang diakui adalah keterangan yang disampaikan di muka sidang, namun majelis hakim seolah tidak mengindahkan hal tersebut,” kata Saut.
Sementara itu, aktivis kelompok solidaritas Kawan8, Fauzan Lou, juga mendesak MA agar segera menerbitkan salinan putusan kasus JIS bagi para petugas kebersihan. Sebab, dia menyebut kasus JIS ibarat fenomena gunung es dalam hal penegakan hukum di Indonesia. Fauzan menyatakan masyarakat juga menunggu keseriusan MA dalam mereformasi hukum di Indonesia.
“Berangkat dari kasus ini (kekerasan seksual JIS), kami melihat ada hal-hal yang belum tersentuh sehingga reformasi hukum itu mesti dikawal dan diperjuangkan,” ujar Fauzan.
Adapun kasus ini berawal saat enam petugas kebersihan di JIS dituduh sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap seorang murid berinisial MAK. Mereka adalah Afrischa, Virgiawan Amin, Zainal Abidin, Agun Iskandar, Syahrial, dan Azwar. Adapun Azwar sudah meninggal dunia dengan tubuh penuh lebam saat proses hukum masih berlangsung.
Tidak lama setelah itu, Ibu TPW melaporkan kembali dua guru yang dituduh melakukan pelecehan seksual kepada anaknya. Setelah mengadukan kedua guru tersebut, Ibu TPW mengajukan gugatan perdata kepada sekolah senilai USD125 juta atau setara dengan Rp 1,6 triliun. Saat ini, kelima orang petugas kebersihan divonis 7-8 tahun penjara dan kedua guru divonis 11 tahun penjara.