Setahun Berlalu, Korban Bom Thamrin Masih Sering Pusing dan Bekas Luka Belum Hilang
Denny mengaku sadar saat ledakan terjadi. Dia merasakan sakit di tangan dan kakinya.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di tengah rintik hujan di depan Starbucks Sarinah, Sabtu (14/1/2017) pagi, Ipda Denny Mahieu, anggota Satgatur Polantas Polda Metro Jaya, tak malu saat diminta menunjukkan luka akibat ledakan bom Thamrin setahun lalu.
Keloid atau jaringan kulit di bekas luka berwarna merah gelap tertoreh di sekujur tubuh bagian kanannya, mulai dari lengan hingga betis, dan lutut.
Tak ada haru maupun keraguan dalam suara saat pria yang mengenakan kaus berkerah berwarna oranye itu menceritakan detik-detik terjadinya ledakan bom Thamrin di pos polisi di kawasan Thamrin saat itu.
Pada 14 Januari 2016, Denny yang masih berpangkat Aiptu tengah melintasi Sarinah dari Thamrin.
Ledakan pertama dalam rangkaian teror itu baru saja terjadi di Starbucks.
Tahu sedang ada marabahaya, Denny berhenti di pos polisi yang terletak di tengah perempatan Sarinah.
Dia tak tahu teroris juga memasang bom di pos itu.
"Waktu itu saya lihat itu bahaya, saya enggak tahu kalau itu bom. Saya pikir karena itu jalur Presiden, lebih baik saya melakukan tindakan ketimbang Presiden lewat bom meledak," ujar Denny.
Namun, tiba-tiba bom meledak di pos itu.
Denny mengaku sadar saat ledakan terjadi. Dia merasakan sakit di tangan dan kakinya.
Sejumlah foto yang beredar saat riuhnya bom Thamrin terjadi, Denny adalah polisi berseragam yang terlihat kesakitan di jok belakang sebuah mobil dengan pelipis kanannya mengucurkan darah, serta tangan dan kakinya terluka parah.
"Tapi saya enggak mengeluh sakit karena udah takdir," ujar Denny.
Dia dievakuasi ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sekitar 11.30 WIB.
Dokter mengoperasi luka-luka di sekujur tubuhnya hingga keesokan harinya pukul 04.30 WIB.