Kisah Nenek Tinah Dipecat dari 'Pasukan Orange', Salat di Trotoar Hingga Tidur Bareng Kucing
Cerita tentang Nenek Tinah yang diberhentikan dari pekerjaannya sebagai "pasukan oranye" menjadi viral di Facebook.
Editor: Wahid Nurdin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Cerita tentang Nenek Tinah yang diberhentikan dari pekerjaannya sebagai "pasukan oranye" menjadi viral di Facebook.
Pemilik akun Facebook Eko Sulistyanto menceritakan kisah Tinah yang kehilangan pekerjaan itu dan kini menganggur.
Cerita tersebut diunggah Eko sejak Kamis (12/1/2017) lalu.
Dalam cerita itu, Eko menggambarkan sosok Tinah yang duduk termangu di trotoar tanpa pakaian jingga yang biasa dikenakannya.
Seragamnya kini berganti warna hijau hansip dengan celana panjang komprang. Entah didapat di mana pakaian itu.
Sebelum Ahok cuti, Nenek Tinah bertugas membenahi sampah di seputaran Senayan dan Gelora Bung Karno dengan gaji sekitar Rp 3 juta.
Bagi nenek renta sepertinya, bergaji sebesar itu ibarat mukjizat yang turun dari langit.
Ia pun rajin sembahyang. Aksinya sedang shalat di pinggir jalan pernah masuk dalam berita Kompas.com.
Seiring dengan cutinya Ahok, sejumlah kebijakan baru pun bergulir di DKI.
Satu di antaranya adalah seleksi ulang anggota pasukan oranye pada Januari ini.
Nenek Tinah tak lolos seleksi. Ia tergusur. Gajinya "terbang". Kini, ia luntang-luntung.
"Nganggur sekarang. Yang dipilih yang bisa baca. Yang muda-muda," ujar dia.
Penjelasan Lurah Gelora
Lurah Gelora, Mediawati, membenarkan informasi tentang pemberhentian Tinah.
Mediawati menjelaskan, Tinah diberhentikan karena masalah ketidakdisiplinan.
"Kalau Ibu Tinah ini ketidakdisiplinannya sering tidak ada di tempat (bekerja), itu satu. Lalu, kami kan ada target kerja, ternyata tidak sesuai target kerja," ujar Media kepada Kompas.com, Minggu (15/1/2017).
Dalam waktu tujuh jam kerja, Tinah bekerja sekitar dua jam saja. Selain itu, Tinah juga tampak lebih sering duduk daripada bekerja.
Media mengatakan, hal itu membuat Tinah dinilai kurang produktif.
Meski hanya bertugas sebagai penyapu jalan, pasukan oranye tetap memiliki tanggung jawab dan target kerja.
Beberapa PPSU lain juga diberhentikan karena masalah ketidakdisiplinan.
"Ada yang satu bulan tidak masuk sampai enam hari. Kayak begitu kan enggak bisa kami pakai. Ada juga yang double job, habis nyapu pukul 07.00 sudah enggak ada di tempat, tahu-tahu ngojek," ujar Media.
Media mengatakan, pemberhentian Tinah dari pekerjaan ini merupakan jalan terakhir yang dia pilih.
Sebelumnya, dia sudah memanggil beberapa orang yang berpotensi diberhentikan, termasuk Tinah.
Media sempat melakukan pembinaan terlebih dahulu kepada mereka bahwa kinerja pada tahun 2017 harus ditingkatkan lagi.
Media mengatakan, beberapa dari mereka menunjukkan perbaikan kinerja setelah diberi pengarahan.
"Ada juga yang tidak bisa berubah kan mau enggak mau harus berhenti. Jadi, bukannya mau menzalimi," ujar Media.
Proses rekrutmen pasukan oranye Dinas lingkungan hidup dan Kebersihan tahun ini memang berbeda.
Pihak yang bertanggung jawab atas seleksi ini adalah kelurahan.
Pada tahun sebelumnya, kelurahan hanya bertindak sebagai pengawas.
Nenek Tinah Shalat di Trotoar Kompleks GBK Senayan
Kisah Nenek Tinah pernah terungkap sebelumnya. Saat ia masih menjadi petugas kebersihan, beginilah kehidupan sehari-hari Nenek Tinah beberapa bulan lalu, tepatnya September 2016.
Saat itu sayup-sayup azan Isya berkumandang di Kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.
Di pinggir pagar kompleks itu, tepatnya di trotoar yang menghadap Gedung Kemenpora yang berada di seberang, terlihat sesosok perempuan yang sedang berdiri.
Dalam kegelapan malam dengan temaramnya lampu, lambat laun terlihat gerakannya menyerupai orang yang sedang menjalankan shalat.
Tidak nampak sajadah yang empuk terhampar, pun tidak terlihat mukena putih yang melekat di tubuhnya.
Sajadah yang menjadi alas hanya lembaran spanduk pemberitahuan.
Di depannya, tersandar sapu lidi dan di belakangnya baju oranye terlihat menyangkut di teralis pagar GBK.
Lokasi shalat di sebelah kanannya terserak tanah dan bebatuan dengan lubang galian yang menganga panjang karena ada pembongkaran trotoar, sedangkan di sebelah kirinya berdiri kokoh pagar GBK.
Lalu lintas kendaraan yang memang saat itu adalah jam keramaian, menyumbang kebisingan di lokasi.
Namun, perempuan itu berhasil menyelesaikan ritual kewajibannya untuk waktu malam.
Usai menjalankan shalat, Kompas.com pun menemuinya. Dia menyebut namanya adalah Nenek Tinah.
Tidak jelas berapa usianya. Berdasarkan tebakannya, dia lahir 3 tahun sebelum pelaksanaan Pemilu 1955.
"Saya tidak pernah meninggalkan shalat, itu sudah kewajiban," kata Nenek Tinah ditemui pekan lalu.
Trotoar itu jadi tempatnya beribadah lantaran tidak ada lokasi terdekat untuk shalat. Selain itu, ia meyakini waktu paling tepat beribadah adalah ketika suara azan memanggil.
Nenek Tinah merupakan warga kelahiran Pemalang, Jawa Tengah yang mengadu nasibnya di Jakarta pada akhir 1990an.
Ia berangkat ke Ibu Kota bersama suami dan anaknya.
Ketika sampai di Jakarta, ia bekerja serabutan dan menjadi tukang bersih-bersih. Kini, ia menjadi petugas Suku Dinas Kebersihan Jakarta Pusat. Sedangkan anaknya memilih berdagang.
"Sekarang lumayan gajinya, Rp 3,1 juta tiap bulan," katanya dengan muka berseri.
Uang itu tidak langsung dihabiskan oleh Nenek Tinah. Rp 2 juta ia ambil dari ATM untuk keperluannya sehari-hari, sisanya ia sisihkan untuk menabung.
Nenek Tinah tinggal di sebuah kamar kos-kosan di daerah Palmerah.
Sebulan, ia membayar Rp 500.000. Namun, lantaran kosan itu terbilang kecil, maka ruangannya pun tak cukup untuk dirinya berbagi.
"Cuma cukup naro barang sama kasur aja. Suami saya yang tidur di situ, saya kalau lagi enggak betah ya tidur di jalan," ceritanya.
Jam kerja Nenek Tinah terbilang cukup lama. Jika sedang berada di kos, ia berangkat setelah Shalat Subuh sekitar pukul 05.00 WIB ke wilayah kerjanya di sepanjang Jalan Gerbang Pemuda. Jam kerjanya selesai sekitar pukul 17.00 WIB.
Disayangi kucing liar
Sepanjang obrolan dengan Nenek Tinah, seringkali kakinya yang bersila digesek-gesek manja oleh tiga ekor kucing.
Nenek Tinah memang menyayangi binatang, termasuk kucing liar yang berada di sekitarnya itu.
"Sesama makhluk hidup mas, mereka juga cari makan seperti saya. Kalau ada makanan ya saya kasih," katanya seraya mengusap punggung seekor kucing yang berada di dekatnya.
Di lokasi tersebut, Nenek Tinah biasanya menyiapkan piring bekas makannya untuk disajikan kepada kucing-kucing itu.
Namun, ketika itu piring tersebut sudah terlihat kosong, hanya dijilat-jilati oleh seekor kucing.
Menurut Nenek Tinah, kucing-kucing cukup membantu dengan menemaninya saat tidur di lokasi tersebut.
Mereka berkerumun dan merapatkan tubuhnya untuk saling memberi kehangatan di dekat Nenek Tinah. (Kompas.com/Jessi Carina/Fidel Ali)