Kiai Ishomuddin Berharap Hakim Putuskan Perkara Ahok Seadil-Adilnya
“Proses yang benar untuk suatu berita, apakah berita benar atau tidak, harus melalui proses-proses klarifikasi terlebih dahulu."
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Agama Islam dengan spesialisasi bidang Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, KH Ahmad Ishomuddin berharap majelis hakim bersikap seadil-adilnya dalam memutus perkara dugaan penistaan agama terhadap Basuki Tjahaja Purnama.
Hal ini penting agar jangan sampai majelis hakim berbuat zholim dengan menghukum orang yang benar dan melepas orang yang salah.
“Dalam Alquran ada terjemahan ‘janganlah kebencianmu kepada satu kaum membuat kamu bersikap tidak adil’. Tabayun atau klarifikasi itu merupakan pintu menuju keadilan. Sedangkan keadilan adalah roh daripada hukum. Dan hukum adalah benteng terakhir negara,” ujar Kiai Ishom di Jakarta.
Seperti diketahui, Kiai Ishom yang juga Dosen Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Bandar Lampung ini menjadi saksi ahli yang dihadirkan Tim Advokasi Bhineka Tunggal Ika BTP dalam persidangan ke-15 di pengadilan belum lama.
Menurutnya, keputusannya menjadi saksi ahli agama dalam sebuah persidangan untuk sebuah peristiwa yang sedang dipersengketakan oleh masyarakat Indonesia memang sebuah kemestian.
Karena menjadi problem besar, bukan saja bagi Ahok, tetapi bagi seluruh bangsa Indonesia jika anak bangsa terus menerus berdebat mengenai satu hal yang tidak memahami hakekatnya.
"Masing-masing saling mencakar berebut benar. Karenanya, harus dilihat kembali mengenai proses-proses menuju sebuah kesimpulan yang adil dan benar. Bahwa pak Ahok dipersalahkan, itu juga harus melalui proses yang benar sebelum membuat kesimpulan bersalah,” jelasnya.
Ia menilai, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sangat terburu-buru mengeluarkan pendapat keagamaannya. Pasalnya, keputusan ini hanya merujuk pada vidio pendek berdurasi 13 detik.
Semestinya, keputusan yang dibuat MUI harus melihat keseluruhan vidio berdurasi 1 jam 48 menit 33 detik. “Sebab kita akan kehilangan kontek dan tidak akan memahami keseluruhan latar belakanganya kalau kita terlalu terpaku pada video parsial 13 detik itu,” terangnya.
Selain terburu-buru, Wakil Ketua Fatwa MUI ini melihat sejumlah proses yang mendasari keluarnya sikap dan pendapat keagamaan MUI itu tidak melalui proses yang benar.
Indikasinya terangnya, tanpa melalui proses tabayyun. Padahal klarifikasi itu sangat penting dilakukan apalagi menyangkut nasib orang lain.
“Proses yang benar untuk suatu berita, apakah berita benar atau tidak, harus melalui proses-proses klarifikasi terlebih dahulu. Misalnya, pak Ahok sebagai orang yang mengucapkannya d ihadapan umum, apakah memiliki niat menistakan Alquran Surat Al Maidah 51 atau tidak, apakah bermaksud menista ulama atau tidak, itu seharusnya dia dipanggil terlebih dahulu, lalu diberi waktu yang cukup untuk memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksudkan oleh hatinya pada waktu itu,” ucapnya.
Menurutnya, proses tabayyun ini penting untuk mencapai sebuah penilaian yang adil, jujur dan obyektif. Karena itu, apabila proses klarifikasi ini tidak dilakukan maka keadilan sebagai sebuah roh sebuah hukum itu terabaikan.
Karena itu, Kiai Ishom pun tidak mengerti bagaimana MUI bisa menyimpulkan menodai ulama. Ini melanggar suatu kaidah dalam agama (tidak diperkenankan menyandarkan suatu kata/kalimat kepada orang yang tidak mengucapkannya).