Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Peneliti LIPI: Pilkada DKI Jakarta 2017 Sebuah Kemunduran yang Harus Dihargai

"Sebab kita tahu, konflik politik berbasis sentimen agama, yang terjadi adalah konflik yang mematikan, kita lihat buktinya di Suriah," ujar Syamsuddin

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Peneliti LIPI: Pilkada DKI Jakarta 2017 Sebuah Kemunduran yang Harus Dihargai
TRIBUN/HO
Spanduk bertuliskan 'Djan Faridz : Untuk DKI Yang Damai Saya Menolak Penggunaan Isu Sara Dalam Pilkada DKI' di Jalan Panglima Polim di Jakarta, Rabu (26/10/2016). Penggunaan isu SARA sering kali digunakan dalam politik untuk menjatuhkan lawan termasuk di dalam kompetisi Pemilihan Kepala Daerah DKI. TRIBUNNEWS/HO 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Belum ada yang bisa mengklarifikasi apakah kemenangan Anies Baswedan - Sandiaga Uno pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017, dikarenakan sentimen agama.

Namun bisa dipastikan, faktor tersebut sangat mewarnai jalannya demokrasi di Jakarta.

Peneliti senior pada Pusat Penelitan Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, menyebut bisa dikatakan jika mayoritas pemilih di Jakarta memilih karena pertimbangan agama ketimbang rasionalitas.

Hal itu berarti sebuah kemunduran dalam berdemokrasi.

"Bagi saya itu kemunduran, tapi hasil Pilkada itu sendiri dimenangkan paslon tiga (Anies - Sandi) mengalahkan paslon dua, kita musti apresiasi juga," ujar Syamsuddin Haris dalam diskusi yang digelar di kantor LIPI, Jakarta Selatan, Rabu (3/5/2017).

Baca: Peneliti LIPI: Isu SARA Tidak Boleh Lagi Digunakan di Pilkada Berikutnya

Menurut dia, yang ideal dilakukan dalam sebuah pesta demokrasi adalah adu ide dan gagasan.

BERITA TERKAIT

Dalam kasus Pilkada DKI Jakarta 2017, semua kinerja Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta selama ini menjadi seperti tidak berarti terutama ketika Ahok yang berkali-kali diterpa isu agama dan harus kalah.

"Apakah (berarti kita) tidak boleh fanatik terhadap agama? Sangat boleh. Tidak ada yang salah dengan itu, yang salah apabila fantisme agama itu dikonversi tanpa tedeng aling-aling ke politik," katanya.

"Sebab kita tahu, konflik politik berbasis sentimen agama, yang terjadi adalah konflik yang mematikan, kita lihat buktinya di Suriah," ujarnya.

Apakah hal itu berarti kinerja pemerintahan Anies - Sandi tidak akan sebaik kinerja pemerintahan sebelumnya? Syamsuddin Haris mengatakan hal itu belum bisa dipastikan, karena kualitas proses demokrasi belum tentu berbanding lurus dengan hasil pemilihan.

"(soal kinerja) soal lain lagi," ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, peneliti politik dan agama di P2P LIPI, Nostalgiawan Wahyudi, menambahkan bahwa faktor agama memang mendominasi jalannya pesta demokrasi di Jakarta namun belum bisa dipastikan apakah Anies - Sandi menang, karena mayoritas pemilihnya yang muslim taat pada ajaran agama.

Menurutnya harus diingat juga bahwa sebelumnya mayoritas warga Jakarta yang sebagiannya adalah muslim, sempat menganggung-agungkan kinerja Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Bahkan pada putaran pertama, Ahok masih mendulang elektabilitas paling besar.

"Isu agama pada kenyataanya tidak dalam posisi yang statis, tapi flying in between (terbang di antara)," katanya.

Ia mengaku percaya, merosotnya elektailitas Ahok karena pasangan Ahok - Djarot Saiful Hidayat terlalu sibuk menangani isu agama sehingga lupa mengantisipasi manuver dari lawan politiknya, yang melakukan pendekatan-pendekatan ke masyarakat bawah.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas