Pengamat: Isu Reklamasi Jadi Alat Politik Turunkan Pamor Joko Widodo
Penghentian reklamasi hanya akan membuat investor berpikir ulang untuk menempatkan dananya di Indonesia.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Isu penghentian reklamasi terus berlanjut pasca rampungnya pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2017.
Isu ini dinilai akan menjadi komoditas politik menjelang pemilihan presiden (Pilpres) pada 2019 mendatang.
Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago, menyatakan isu reklamasi saat ini sudah terbagi menjadi dua kutub. Pertama, kubu Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta Terpilih, Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang didukung Amien Rais dan Prabowo Subianto. Kubu kedua adalah Menteri Koordinator Maritim, Luhut Binsar Pandjaitan, yang pro kepada pemerintah pusat di bawah Presiden Joko Widodo.
"Isu ini digunakan untuk menurunkan pamor Presiden Joko Widodo jelang pilpres 2019 mendatang. Dua tahun itu merupakan waktu yang singkat sehingga isu reklamasi sudah digunakan sejak sekarang ini," kata Pangi di Jakarta belum lama ini.
Menurut Pangi, isu reklamasi cukup efektif dalam pertarungan Pilkada Jakarta lalu. Hal itu terbukti dengan merosotnya elektabilitas pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, sehingga kalah dari Anies-Sandi.
"Isu reklamasi cukup memiliki pengaruh sehingga terus berlanjut sampai sekarang ini," ucap Pangi.
Seperti diberitakan, rencana penghentian reklamasi kencang dihembuskan kubu Anies-Sandi. Belakangan Amien Rais bahkan menantang Luhut untuk beradu data tentang manfaat dari pembangunan reklamasi.
Jika tidak ada manfaatnya bagi warga Jakarta, terutama para nelayan di Teluk Jakarta, Amien mendesak pemerintah pusat untuk tidak melanjutkan proyek tersebut.
Namun, banyak kalangan menilai penghentian reklamasi nantinya akan memunculkan dampak negatif terutama terhadap iklim investasi properti di Jakarta.
Prediksi ini semakin diperkuat dengan pernyataan anggota tim sinkronisasi Anies-Sandi, Marco Kusumawidjaja, yang menyatakan tidak akan membayar ganti rugi kepada para pengembang. Alasannya, pembangunan reklamasi dinilai menyalahi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta menunjukkan, sektor properti (real estat dan konstruksi) setiap tahun menyumbang rata-rata 19% dari total Produk Domestik Regional Bruto.
Angka ini merupakan nilai awal saat proyek dilakukan, sehingga belum memperhitungkan dampak ikutan (multiplier effect) dari proyek properti secara keseluruhan.
Ali Tranghanda, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, menyatakan langkah pemerintah baru provinsi Jakarta yang menolak memberikan biaya ganti rugi merupakan suatu bentuk kejahatan. Sebab, pengembang sudah menginvestasikan dana besar hingga triliunan rupiah. Pembangunan pulau-pulau reklamasi juga telah memenuhi aturan yang dibuat pemerintah sendiri.
"Seharusnya biaya pembangunan yang sudah dikeluarkan pengembang bisa diganti. Ini menjadi sesuatu yang lucu ketika tanah reklamasi sudah dibangun, lalu nantinya dibangun fasilitas publik oleh pemerintah provinsi, itu namanya merampok pengembang," kata Ali.
Secara etika bisnis, menurut Ali, hal tersebut sangat tidak bagus. Padahal, pemerintah provinsi dan pengembang saling membutuhkan satu sama lain. "Ini secara bisnis tidak fair dan akan menjadi preseden buruk. Penghentian reklamasi akan memunculkan gugatan-gugatan yang berlangsung panjang," kata Ali.
Selain itu, kebijakan tersebut akan menjadi ironi di tengah Indonesia yang baru saja menyandang predikat layak investasi (investment grade). Penghentian reklamasi hanya akan membuat investor berpikir ulang untuk menempatkan dananya di Indonesia.
Preseden ini berpotensi mengganggu pencapaian target investasi pemerintah tahun ini sebesar Rp 678,8 triliun, sehingga berimbas pada pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah maka pamor pemerintahan Joko Widodo pada 2019 juga berpotensi ikut turun.