Tuntut Peradilan Bersih, Aksi Tabur Bunga di Depan Gedung MA
Simbol putih menunjukkan pengadilan di Indonesia hidup, bersih dan mampu memutus secara adil.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aksi tabur bunga mawar berwarna merah digelar di depan Gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, Rabu (7/6/2017).
Aksi itu sebagai bentuk mendukung lembaga peradilan tertinggi itu bebas dari tekanan dan intervensi politik dalam memutuskan carut marut dualisme kepemimpinan DPD.
Puluhan orang memakai baju berwarna hitam dan sebagian lagi memakai baju berwarna putih.
Mereka juga membawa payung berwarna abu-abu yang diletakkan di depan Gedung Mahkamah Agung.
Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, mengatakan simbol hitam menunjukkan pengadilan di Indonesia mati dan tak berpihak pada kebenaran.
Simbol putih menunjukkan pengadilan di Indonesia hidup, bersih dan mampu memutus secara adil.
Aksi ini menyoroti sidang putusan gugatan atas keabsahan Oesma Sapta Odang sebagai Ketua DPD RI bersama dua pimpinan lain.
Majelis Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) akan memutuskan pada Kamis (8/6/2017).
"Ini pertarungan, antara Hitam Putih peradilan, akankah (hukum,-red) bertarung pada kebenaran atau berpihak pada kelompok-kelompok yang berkuasa dengan berbagai macam cara melakukan kudeta politik untuk merebut kekuasaan," kata dia, kepada wartawan, Rabu (7/6/2017).
Menurut dia, lembaga kekuasaan kehakiman MA merupakan puncak kekuasaan kehakiman, jadi MA harus menjunjung tinggi nilai kejujuran dan objektivitas dalam memutus perkara itu.
Dia menjelaskan, putusan PTUN yang akan dibacakan Kamis besok menjadi tonggak sejarah dunia peradilan di Indonesia apakah dunia peradilan akan menjadi hitam atau menjadi putih.
Apabila melihat secara fakta dan menilai secara objektif di pengadilan, maka seharusnya gugatan yang dilayangkan oleh GKR Hemas bisa mengalahkan Mahkamah Agung.
Ini berdasarkan pada Keputusan Mahkamah Agung itu sendiri dalam putusan T20/ MP32 tahun 2007, kepemimpinan DPD itu adalah 5 tahun. Hal itu diperkuat keterangan ahli di persidangan.
Namun, dia khawatir ada intervensi di persidangan yang akan mempengaruhi putusan PTUN. Dia menilai ini adalah kasus peradilan maka biarlah pengadilan yang memutuskan.
"Kami datang ke Mahkamah Agung menuntut pengadilan independen, jujur untuk menegakkan hukum dan keadilan, bukan karena intervensi, bukan karena uang atau deal-deal tertentu di wilayah politik. Itu yang kami harapkan, (semoga putusan ini,-red) tidak ada Invisible hand," ujarnya.
Selain itu, dia menyayangkan sikap diam Presiden Joko Widodo yang membiarkan carut marut ini bergulir. Bahkan mengajak OSO dalam acara kenegaraan.
"Harusnya sikap presiden dalam status dualisme dan statusquo ini tidak datang dan tidak mengajak OSO dalam berbagai kegiatan kenegaraan sampai ada keputusan hukum yang tetap," katanya.