Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Penyalahgunaan Obat Gangguan Kejiwaan Jadi Tren

Orang yang mudah stres itu, yang menurutnya, akan mencari langkah instan. Sehingga, mereka enggan melakukan pengobatan ke dokter

Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Sanusi
zoom-in Penyalahgunaan Obat Gangguan Kejiwaan Jadi Tren
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Petugas menunjukan barang bukti saat ungkap kasus tindak pidana kesehatan di Dirtipid Narkoba Bareskrim Polri, Cawang, Jakarta, Jumat (22/9/2017). Sebanyak kurang lebih 10 juta butir PCC disita Dit IV Bareskrim Polri dari empat wilayah yang disinyalir sebagai gudang penyimpanan dan pabrik pembuatan PCC, dari pengungkapan kasus tersebut diamankan empat tersangka yang memproduksi pil tersebut. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNNEWSCOM, JAKARTA - Direktur Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan, Fidiansjah menjelaskan penyalahgunaan obat untuk kesehatan jiwa sudah mulai meningkat.

Alasannya, perkembangan zaman dan pesatnya kemajuan teknologi menjadi satu di antara banyak faktor.

"Tidak bisa dipungkiri perkembangan zaman dan teknologi menjadi penyebab orang-orang mulai stres," kata dia saat dihubungi, Jakarta, Jumat (22/9/2017).

Orang yang mudah stres itu, yang menurutnya, akan mencari langkah instan. Sehingga, mereka enggan melakukan pengobatan ke dokter dan langsung mengonsumsi obat-obat kejiwaan.

Belum lagi, menurutnya, peredaran obat kesehatan jiwa didapatkan secara mudah, meski tanpa resep dokter.

"Biasanya orang-orang ini menggunakan untuk menurunkan depresi dan ini gejalanya sudah mulai banyak. Tapi, masalahnya yaitu, tidak sesuai dengan dosis yang seharusnya," jelas dia.

Secara aturan, dia menjelaskan obat-obat kesehatan jiwa memiliki prosedur yang khusus berbeda dengan obat lainnya.

Berita Rekomendasi

Pertama, urai Fidiansjah, obat kesehatan jiwa tidak secara mudah akan didapatkan. Obat-obat itu, disimpan dalam suatu ruangan yang khusus dan sangat dijaga peredarannya.

Kedua, sudah diwajibkan bagi konsumen untuk membawa resep dari dokter saat membeli obat tersebut. Apoteker, juga tidak dapat secara serta merta memberikan obat itu, meski sudah diberikan resep dari dokter.

"Tidak bisa sembarangan. Pasti bisa dilihat, kalau apoteker A yang jaga, banyak keluar obat kesehatan jiwa, itu bisa kami periksa," tukasnya.

Sasar Anak-Anak

Direktur Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan, Fidiansjah mengatakan obat kesehatan jiwa, sudah menyasar ke anak-anak. Padahal, prediksi Kemenkes sebelumnya, obat-obat itu hanya akan disalahgunakan oleh usia produktif.

Meski dirinya, tidak menyebutkan prosentase peningkatan, kecenderungan itu sudah mulai terlihat. Seperti yang terjadi di Kendari, Sulawesi Tenggara beberapa waktu lalu.

"Prediksi kami sebelumnya itu, ke remaja usia produktif. Tapi, tren sekarang justru ke anak-anak. Di Kendari misalnya," ucapnya.

Kecenderungan anak-anak mengonsumsi obat stres tersebut, dikatakan memiliki alasan sendiri. Kata dia, anak-anak dapat mengakses informasi secara luas dari dawai yang mereka pegang.

Informasi yang didapatkan, lanjut Fidiansjah, belum tentu semuanya baik dan dalam pengawasan orang tua. Sehingga, hal itu dapat membentuk karakter dan kejiwaan anak-anak.

"Belum tentu pesatnya perkembangan zaman dan teknologi, juga memberikan hal positif. Bisa jadi, tanpa pengawasan dari orang tua menjadi sebaliknya," ungkapnya.

Bahkan pada 2020, Indonesia dan beberapa negara di dunia lainnya, masalah kesehatan jiwa akan menempati urutan kedua setelah penyakit jantung.

Data dari WHO dan juga analisis serta penelitian dari Kementerian Kesehatan yang tengah berlangsung menunjukkan gejala itu.

"Data kuantitasnya belum bisa kami berikan. Tetapi kecenderungan itu sudah terlihat jelas," ujarnya.

Perintahkan Razia

Dua orang penjual tanpa kios di Pasar Pramuka, Jakarta sempat menawarkan obat kesehatan jiwa jenis Alprazolam kepada Tribun beberapa waktu lalu. Keduanya, menyebutkan obat jenis itu sedang dicari anak-anak muda di Jakarta saat ini.

"Ini lagi nge-tren sekarang. Hati-hati ketahuan polisi," kata seorang penjual kepada Tribun waktu itu.

Dia menjelaskan khasiat obat itu untuk menghilangkan depresi akut seseorang. Obat jenis Alprazolam itu juga disebut-sebut lebih ampuh dibanding obat PCC yang tengah menjadi perbincangan.

"Bagus ini daripada PCC," tandas pria itu seraya memperlihatkan obat berdosis 0,5 miligram tersebut.

Obat yang ditawarkan dengan harga Rp 70 ribu untuk delapan pil itu, kemudian Tribun tunjukkan kepada Kasubdit Pengawasan Direktorat Pengawasan BPOM, Wardono.

Kata dia, obat yang didapatkan oleh Tribun dari Pasar Pramuka sudah tergolong Narkotika dan dilarang peredarannya.

"Ini sudah Napza. Tidak boleh beredar," jelas dia saat ditemui usai konfrensi pers penemuan jutaan pil PCC di Direktorat Narkoba Mabes Polri, Jakarta.

Pihak Kepolisian melalui Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigjend Pol Rikwanto memerintahkan kepada Kasat Narkoba di setiap Polres untuk menjalankan razia secara rutin.

Hal itu, jelas dia, untuk mengurangi peredaran obat ilegal dan obat yang sudah tergolong narkotika.

"Saya sudah perintahkan seluruh kasat untuk melakukan razia secara rutin kedepannya. Peredaran obat ilegal ini harus bisa dihentikan," tegas dia.(rio)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas