Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Silahkan Saling Adu Program Jangan Saling Provokasi kata Hendri Satrio

Dinamika jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 semakin tidak terkendali.

Editor: Toni Bramantoro
zoom-in Silahkan Saling Adu Program Jangan Saling Provokasi kata Hendri Satrio
ist
Hendri Satrio 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dinamika jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 semakin tidak terkendali.

Hal itu dipicu oleh cara dan tindakan para tim sukses (timses) dan pendukung seperti rem blong dalam melancarkan kampanye.

Saling serang, saling ejek, saling hina, saling caci, dan saling benci, terus menggema baik di jagat nyata maupun jagat maya.

“Harusnya timses dan pendukung ‘saling ‘jual’ program dan keunggulan calonnya ke masyarakat, bukan malah memprovokasi pendukungnya untuk saling menjelekkan dan menyerang lawan,” papar pengamat komunikasi politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, Kamis (6/12/2018).

Hendri mengungkapkan, sesuai teori, proses demokrasi itu akan langgeng dan damai dilaksanakan bila tercapai tidak hal. Ketiga hal itu yaitu ekonomi merata, hukum yang tidak tebang pilih, kedewasaan berpolitik termasuk didalamnya toleransi.

Tapi yang terjadi sekarang ini, lanjut Hendri, kombinasi dari tiga hal itu yaitu ekonomi yang dianggap sebagian masyarakat tidak terlalu baik, hukum juga dianggap masih tebang pilih, dan sampai hari ini tentang kedewasaan politik, terutama toleransi dan identitas masing-masing warga negara masih yang ada ada kaitannya dengan jatidiri masing-masing.

“Itulah yang membuat timses seperti rem blong dan itu menjadi kegagalan yang diciptakan timses. Padahal kegagalan timses notabene adalah kegagalan capres dan cawapres 2019,” tutur Founder lembaga survei KedaiKopi ini.

Berita Rekomendasi

Menurut Hendri, kultur masyarakat Indonesia itu masih mengikuti tokoh dan panutannya. Kalau panutannya adem ayem, maka mereka juga adem pula.

Sekarang panutannya belum debat, belum berdiskusi, belum berpolemik di ranah yang substantif tapi masih ranahnya kampanye sudah saling serang, saling tuding sehingga memunculkan kata-kata viral seperti saya tabok, wong boyolali, lulusan SMA hanya jadi ojek, dan lain-lain.

Selain itu, pada 2014 lalu, waktu kampanye hanya sebentar, sementara sekarang waktunya 6 bulan. Sekarang baru 2 bulan saja dinamikanya sudah seperti saat ini, padahal masih ada waktu 4 bulan lagi ke masa pemiihan.

“Tanpa disadari, akibat waktu kampanye terlalu lama, masyarakat jadi terjebak dengan lamanya waktu kampanye itu dan itu membuat mereka terjebak juga dalam lingkaran media sosial (medsos). Ironisnya mereka tidak sadar medsos makin penuh dengan berbagai hal negatif seperti hoaks, ujaran kebencian, kampanye hitam, adu domba, dan lain-lain,” papar Hendri.

Ia menyarankan harus ada kerjasama menyeluruh antara badan dan lembaga negara untuk mendinginkan suasana .

BNPT, BSSN, Bawaslu, TNI, Polri, melalui bidang siber mereka, setiap hari tidak boleh berhenti menyampaikan pesan damai  melalui medsos.

“Rangkullah ulama dan tokoh agama yang memiliki kharisma, sehingga masyarakat bisa lebih tertata dan terjaga,” tukasnya.

Selain itu, kata Hendri, perlu ada semacam relawan yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat untuk melawan upaya-upaya perpecahan itu, baik di alam nyata maupun maya.

Ini akan menjadi langkah pemberdayaan masyarakat yang kesannya kecil, tapi akan berdampak sangat besar bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Saya kira perlu ada gerakan relawan milenial tapi gerakannya akan seperti apa yang dan bisa mencakup pendukung Capres 01 dan Capres 02 dan di mengerti masyarakat secara cepat. Saya yakin pasti sebagian bahkan seluruh rakyat indonesia tidak ingin pecah apalagi cuma gara-gara medsos,” tuturnya.

Hendri yakin bila gerakan relawan milenial itu mulai bergerak, maka para anak muda Indonesia akan bersatu. Ia juga mengajak seluruh pihak agar tidak khawatir dengan adanya kubu-kubuan jelang Pilpres.

“Menurut saya kubu-kubuan tidak perlu dikhawatirkan, biar kubu-kubuan itu diselesaikan pada saat Pilpres 2019. Pada saat anda mencoblols silakan mencoblos, tapi begitu keluar TPS selesai. Toh setelah nyoblos kita tetap sama yaitu rakyat Indonesia. Satu lagi, kalau ngomongin politik harus pakai hati, akal sehat, dan nalar, serta utarakan lewat mulut, boleh juga lewat jempol, tapi angan sampai hatinya yang justru terkena provokasi politik. Semoga kita tetap adem sampai Pilpres nanti,” papar Hendri.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas