Soal Muslim Uighur PP Muhammadiyah: Pemerintah China Harus Mengedepankan Perdamaian Bukan Kekerasan
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir memberikan masukan kepada pemerintah China agar mengendepankan cara-cara perdamaian terkait masa
Penulis: Abdul Majid
Editor: Toni Bramantoro
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdul Majid
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir memberikan masukan kepada pemerintah China agar mengendepankan cara-cara perdamaian terkait masalah muslim Uighur yang berada di Provinsi Xinjiang, China.
Haedar pun menyebut sebagai negara besar, seharusnya China bisa menjadi pelopor paradigma politik internasional yang melihat suatu masalah secara menyeluruh dan tanpa mengutamakan sisi kekerasan.
“Kami juga menyampaikan masukan kepada Republik Rakyat Tiongkok yang merupakan salah satu negara besar yang punya kekuatan Ekonomi dan Diplomasi luas untuk menjadi pelolpor bagi pradigma poltik internasional yang melihat persoalan-persoalan yang terjadi pada muslim Uighur, dan sebagainya dengan pendekatan yang komperhensif mengedepaknkan perdamaian, non kekerasan dan terciptanya nilai-nilai kemanusiaan secara bersama,” kata Haedar dalam konferensi pers PP Muhammdiyah dan Dubes China untuk Indonesia di Gedung Pusat Dakwah Muhammdiyah, Jumat (28/12/2018).
“Saya pikir, kami tadi juga sudah memperoleh respon yang sangat positif bahwa paradigma baru ini akan menjadi era baru juga buat dunia internasional,” sambungnya.
Bahkan, Haedar pun memberikan contoh bagaimana Indonesia sukses menangani masalah serupa yang pernah terjadi di Aceh dan Papua.
“Kami juga punya pengalaman di Aceh dan Papua di mana hal seperti ini kami lakukan dengan pendekatan yang damai, komperhensif dan kompromistis,” tambah Haedar.
Seperti diketahui, kabar pelanggaran HAM yang terjadi pada muslim Uighur terdengar dari berbagai lembaga HAM internasional serta Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial PBB yang sebelumnya mengklaim ratusan ribu hingga jutaan warga Xinjiang ditahan di barak-barak reedukasi.
Dalam kamp-kamp tersebut, mereka mendapatkan indoktrinasi, pelarangan menjalankan ritual agama, bahkan penyiksaan dan kerja paksa.
Pemerintah RRC pun menyangkal laporan berbagai pihak soal kamp-kamp reedukasi di Xinjiang. Mereka berkeras, yang didirikan adalah lembaga-lembaga pendidikan vokasional bagi warga yang berpotensi terpapar ekstremisme.