Pengamat Menilai Perang Tarif Ojek Online Bisa Ancam Industri Digital
Tanpa inovasi, perang tarif dipastikan akan terus berlanjut, dan ini tidak sejalan dengan visi misi sebuah industri digital pada umumnya
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat memperkirakan perang tarif yang berkepanjangan bisa mengancam keberlangsungan bisnis industri digital, khususnya penyedia jasa transportasi berbasis aplikasi.
"Kondisi saat ini sudah tidak sehat bagi industri digital penyedia transportasi daring. Mereka harus sadar bahwa cepat atau lambat akan mengancam keberlangsungan bisnisnya," kata Maman Setiawan, pengamat ekonomi industri dari Universitas Padjajaran, kepada pers di Jakarta, Rabu (27/2/2019).
Menurutnya, persaingan sehat yang seharusnya dilakukan para aplikator transportasi daring, Grab dan Go-Jek, adalah beradu inovasi dan strategi peningkatan kualitas pelayanan bagi konsumen.
Dengan demikian, menurut Maman, konsumen benar-benar menerima manfaat nyata dari kemampuan masing-masing aplikator dalam berinovasi, dan tetap bisa terlayani dengan baik.
Baca: AMSI Gelar Rakernas Bahas Bisnis Media Digital
Tanpa inovasi, perang tarif dipastikan akan terus berlanjut, dan ini tidak sejalan dengan visi misi sebuah industri digital pada umumnya.
"Aplikator yang minim inovasi tentunya akan hanya mengandalkan kemampuan finansial untuk menciptakan perang tarif," ulasnya.
Selama ini, kata Maman, Grab sebagai aplikator yang memulai strategi perang tarif memang cukup ampuh menarik minat pasar. Tapi, dampak positifnya hanya akan dirasakan secara jangka pendek.
"Jor-joran tarif murah memang dilakukan guna menarik pelanggan sebanyak mungkin, tapi tak bisa dilakukan selamanya," ujarnya.
Jika terjadi dalam jangka panjang, lanjut Maman, perang tarif justru berpotensi menghasilkan satu pemain dominan di pasar. Pemain dengan kemampuan finansial paling kuat tentunya akan memenangkan perang tarif tersebut, namun tak berarti bisa meraup untung besar. Situasi seperti ini justru tak baik bagi iklim usaha di Indonesia.
"Kalau ada duopoli dan mereka tidak berkolusi, maka yang terjadi adalah perang harga. Mereka akan adu kuat modal sampai salah satunya habis," tuturnya.
Karena itu, menurut Maman, diperlukan peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang lebih aktif untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap fenomena perang tarif tersebut. KPPU mesti jeli dalam melihat seperti apa praktik predatory pricing dalam bisnis transportasi daring.
"Harus jeli melihat apakah aplikator sengaja menjual rugi untuk membunuh kompetitor atau tidak. Kalau terindikasi untuk membunuh ya harus ditindak tegas," ucap Maman.
Meski industri digital merupakan model bisnis baru, papar Maman, KPPU tetap bisa menghitung biaya produksi aplikator transportasi daring berdasarkan kajian akuntansi. Selain itu, pemerintah juga bisa menghitung berdasarkan acuan di suatu negara yang kondisinya serupa.
"Bisa diketahui biaya produksi per kilometer berapa besar. Sehingga, bisa diketahui terjadi predatory pricing atau tidak," paparnya.