Pekerja Pelabuhan Indonesia Tolak Perpanjangan Kontrak JICT dengan Hutchison
Pekerja berdemo membawa sejumlah spanduk berisi tuntuan mereka agar Hutchison segera angkat kaki dari JICT
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Wartawa Kota Junianto Hamonangan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Para pekerja JICT melakukan aksi demo di depan Pos IX Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (20/3/2019) menolak perpanjangan kontrak dengan Hutchison.
Mereka menilai kerjasama pengelolaan dan pengoperasian JICT dengan Hutchison terindikasi merugikan keuangan negara.
Pekerja berdemo membawa sejumlah spanduk berisi tuntuan mereka agar Hutchison segera angkat kaki dari JICT.
Aksi demo yang sempat membuat kemacetan itu mendapat pengawalan dari aparat kepolisian.
Ketua Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia Sofyan Hakim mengatakan pihaknya menolak rencana perpanjangan kontrak JICT dengan Hutchison yang akan berakhir akhir Maret 2019 karena dinilai sangat merugikan negara.
“Pertama, mengenai perpanjangan kontrak JICT yang akan berakhir pada 27 Maret karena terjadi pelanggaran hukum karena terindikasi tidak ada alas hukum dalam perpanjangan kontrak,” ucap Sofyan Hakim.
Aksi pekerja JICT dilakukan dalam upaya membatalkan kontrak perpanjangan Hutchison dengan JICT.
Hal ini disebabkan privatisasi jilid II tersebut cacat hukum dan merugikan pekerja yang telah membangun produktivitas bagi JICT.
Baca: FPPI Sebut Ada Pembiarkan Privatisasi Jilid II JICT kepada Hutchison
“Kedua, terjadinya kerugian negara yang diakibatkan oleh pihak tertentu yang diindikasi bersama dan sistematis berupaya untuk hilangkan opsi pengelolaan sendiri oleh Pelindo II,” kata Sofyan Hakim.
Apalagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyatakan, perpanjangan kerjasama pengelolaan dan pengoperasian JICT dengan Hutchison terindikasi merugikan keuangan negara.
“Kami akan terus lakukan perjuangan ke pihak terkait sampai 27 Maret kalau nggak akan terus lakukan aksi serupa,” ujar Sofyan Hakim.
Merujuk data audit investigatif BPK menunjukkan bahwa dalam kasus privatisasi JICT ditemukan banyak hukum seperti tidak adanya izin konsesi pemerintah, penunjukkan langsung Hutchison tanpa ada tender, tanpa dimasukkan ke dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP), Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) dan tanpa RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).
Atas pelanggaran aturan tersebut, negara dirugikan setidaknya Rp 4,08 triliun dan potensi kerugian negara Rp 36 triliun sampai tahun 2039. (jhs)