ICLaw Umumkan Pemenang Cerpen Green Pen Award 2019
Yeni Fatmawati Fahmi Idris selaku pemangku ICLaw bekerjasama dengan Rayakultura, menggelar Lomba Cipta Cerpen Cinta Bumi (LCCCB), Genre Sastra Hijau
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, CIANJUR - Bertepatan dengan peringatan Hari Bumi Sedunia dan kepedulian kondisi bumi yang semakin menderita melandasi Yeni Fatmawati Fahmi Idris selaku pemangku ICLaw bekerjasama dengan Rayakultura, menggelar Lomba Cipta Cerpen Cinta Bumi (LCCCB), Genre Sastra Hijau bertema 'Merawat dan Melestarikan Bumi Kita Satu-satunya'.
Yeni Fatmawati Fahmi Idris menjelaskan gerakan sastra hijau adalah salah satu gerakan untuk melestarikan alam dengan pena. Dengan gerakan menulis ini diharapkan akan menjadi pemicu semangat anak-anak Indonesia dan juga masyarakat Indonesia dalam menjaga alam yang merupakan rumah kita satu-satunya dan kondisinya kini semakin menderita dampak dari ulah manusia eco-vandalism.
"Jika kerusakan Bumi makin parah tak ada lagi planet yang memadai sebagai penggantinya. Maka Bumi dan lingkungan wajib kita lestarikan, eksistensi dan fungsinya. Inilah yang mendorong kami menggelar Lomba Cipta Cerpen Cinta Bumi Genre Sastra Hijau ini," ungkap Yeni di Villa Fahmi Idris, Desa Cimacan, Jalan Raya Cibodas Kampung Rarahan Cibodas Jawa Barat, Senin (22/4/2019).
"Kami meyakini bahwa tujuan lomba ini untuk menanamkan, meningkatkan dan menyebarkan wacana tentang pentingnya menjaga, merawat dan memelihara bumi sebagai tempat tinggal kita bersama," tambah Yeni.
Kritikus Sastra Maman S Mahayana yang juga menjadi juri kehormatan LCCCB mengatakan problem alam dalam sastra Indonesia sangat kurang sekali. Padahal sastrawan Indonesia kita paling akrab dengan lingkungan dan ampir puisi Indonesia bersentuhan dengan alam.
"Alam menjadi sesuatu yang hidup. Namun sekarang sudah tidak ada. Saya merasa penawaran menjadi juri ini pucuk di cinta ulam pun tiba. Saya optimis usai membaca cerpen-cerpen hasil karya para peserta. Alam menjadi saudara mereka dan para penulis mewakili potret masalah mereka," tutur Maman.
Sebagai penggiat sastra, Maman berharap lomba cerpen ini berkelanjutan agar menjadi virus kecintaan pada alam dan tidak hanya menjadi slogan tetapi menjadi suatu pemikiran dari perilaku masyarakat untuk menjaga alam.
Sastra Indonesia butuh sastrawan yang peduli dengan kecintaannya kepada alam. Kita tumbuh dari alam dan aneh kalau kita tidak cinta pada alam.
"Saya berharap bu Yenni dapat melanjutkan kegiatan ini untuk terus menyebarkan virus kepada milenial untuk menjaga alam melalui cerpen," jelasnya.
Pendaftaraan LCCCB dibuka mulai 5 Januari 2019 dan berakhir 30 Maret 2019 dengan melombakan dua kategori A dan B. Kategori A ditujukan untuk para pelajar SMA/SLTA dan kategori B di khususkan untuk mahasiswa, guru, dosen dan umum.
Ketua Panitia Pelaksana LCCCB Naning Pranoto mengaku surprise dengan jumlah naskah cerpen yang masuk ke panitia. Dalam waktu 3 bulan panpel menerima sebanyak 1.659 judul dari 1.012 peserta dengan rincian kategori A sebanyak 597 judul dan kategori B sebanyak 1.062 judul.
"Jadi, omong kosong orang Indonesia malas menulis. Dalam satu setengah bulan ini kami menerima lebih dari 1.600 cerpen. Ini luar biasa boleh dikatakan melebihi target dan ekspektasi kami. Semoga melalui kegiatan sastra ini kecintaan kepada alam akan semakin meningkat," kata Naning.
Naning juga merinci para peserta yang mengirimkan cerpen berasal dari seluruh Indonesia mulai dari Aceh hingga Papua. Kemudian kiriman naskah juga datang dari Hongkong, Malaysia dan Taiwan. Penyebaran penulisan cerpen terbanyak dari berasal dari Madura, Riau dan Sumatera.
Namun dari pulau Jawa kebanyakan dikirimkan oleh Sastrawan namun sayangnya tidak memenuhi syarat minimal penulisan 3.000 karakter. Dilihat dari latar belakang pendidikan peserta mulai dari SMA hingga S-3 dari 37 perguruan tinggi mulai dari Universitas Indonesia, Gajah Mada, ITB, UNJ, UII dan lainnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.