Reaksi Polda Metro Jaya soal Pengakuan Korban Salah Tangkap yang Tuntut Ganti Rugi Ratusan Juta
Argo Yuwono mengatakan, pihaknya melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus tersebut secara profesional
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polda Metro Jaya menanggapi gugatan ganti rugi yang dilayangkan empat pengamen korban salah tangkap.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Argo Yuwono menegaskan pihaknya merasa tidak menyalahi aturan terkait proses hukum kasus pembunuhan Dicky Maulana (20) di kolong jembatan samping Kali Cipulir, Jakarta Selatan, pada 2013.
Baca: Parpol Berebut Kursi Ketua MPR, Siapa yang Menang?
Baca: Ahok Ungkap Masa-masa di Penjara: Mereka Pikir Saya Akan Depresi Kan?
Saat itu, kepolisian menjerat empat tersangka yang masih di bawah umur, yakni Fikri, Fatahillah, Ucok, dan Pau.
Argo Yuwono mengatakan, pihaknya melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus tersebut secara profesional.
Polisi ketika itu memiliki dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan mereka sebagai tersangka.
"Polisi telah melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus tersebut, bukti formil dan materiil telah dipenuhi. Berkas perkara telah dinyatakan lengkap oleh jaksa penuntut umum," kata Argo saat dikonfirmasi Kompas.com, Kamis (18/7/2019).
Baca: Penyidikan Tahap I Selesai, Polisi Serahkan 75 Tersangka Perusuh 22 Mei ke Kejari Jakbar
Baca: 1.695 Guru PNS Non Sarjana di Simalungun Dipecat
Argo Yuwono mengatakan, setelah berkas perkara dinyatakan lengkap oleh jaksa, penyidik kemudian melimpahkan perkara kasus tersebut ke kejaksaan dan selanjutnya diproses oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Setelah dilakukan sidang tingkat satu, pelaku dinyatakan bersalah dan divonis. Tugas penyidik saat berkas perkara sudah dinyatakan lengkap dan penyerahan tersangka dan barang bukti," ujar Argo Yuwono.
Pengakuan salah satu korban
Fikri Pribadi, salah satu pengamen korban salah tangkap yang menuntut ganti rugi ke Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI mengisahkan kembali peristiwa di mana dia ditangkap.
Fikri Pribadi masih ingat bagaimana dia dan Fatahillah (12), Ucok (13) dan Pau (16) dipaksa mengaku sebagai pelaku pembunuhan di kolong jembatan samping Kali Cipulir, Jakarta Selatan, 2013 lalu.
Baca: Kasus Dugaan Salah Tangkap Pengamen, Polisi Klaim Sudah Sesuai Prosedur
Awalnya, dia langsung melapor pihak sekuriti setempat terkait temuan itu.
Pihak sekuriti lantas melapor ke pihak polisi.
Saat polisi datang ke lokasi, Fikri dan ketiga temannya sempat diminta menjadi saksi untuk proses penyidikan.
"Polisinya bilangnya, 'Tolong ya Abang jadi saksi ya'. 'Iya enggak papa saya mau', saya jawab begitu. Tahunya pas sudah di Polda malah kami yang diteken," kata dia saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (17/7/2019).
Ketika sudah berada di Polda Metro Jaya, dia tidak hanya diperiksa, tetapi juga disiksa oleh para oknum polisi.
"Saya langsung dilakbanin, disiksa pokoknya di Polda. Disetrum, dilakbanin, dipukulin, sampai disuruh mengaku," ucap dia.
Penyiksaan tersebebut diterima mereka secara bergantian.
Mereka harus menerima penyiksaan tersebut selama seminggu.
Karena tidak kuat akan siksaan tersebut, mereka akhirnya memilih mengaku.
Mereka pun tidak tahu apa dasar polisi menuduh mereka sebagai tersangka.
Mereka akhirnya mengaku dan kasus itu naik ke kejaksaan hingga akhirnya disidangkan di pengadilan.
Mereka divonis hakim bersalah dan harus mendekam di penjara anak Tangerang.
Belakangan, Fikri dan teman-temannya dinyatakan tidak bersalah dalam peristiwa pembunuhan tersebut.
Mereka dinyatakan tidak bersalah dalam putusan Mahkamah Agung melalui putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016.
Dalam proses hukumnya, mereka dibantu Lembaga Bantuan Hukum untuk menjalani setiap persidangan.
Baca: Teriakan Warga Tak Dipedulikan, Seorang Wanita Tewas Tertabrak KA Ciremai
Mereka pun bebas pada 2016.
Selang tiga tahun kemudian, LBH Jakarta kembali memperjuangkan hak ganti rugi atas penahanan tersebut.
Gugat ganti rugi Rp 746 Juta
Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dituntut ganti rugi oleh LBH Jakarta atas perkara salah tangkap dalam kasus pembunuhan.
Korban salah tangkap yakni empat orang pengamen yang masih di bawah umur.
Baca: Akui Salah Tangkap Pengancam Bunuh Jokowi, Polda Metro: Wajahnya Mirip di Video
Empat pengamen bernama Fikri (17), Fatahillah (12), Ucok (13) dan Pau (16) ditangkap Jatanras Polda Metro Jaya pada 2013 silam.
Mereka ditahan karena dituduh melakukan pembunuhan di kolong jembatan samping kali Cipulir, Jakarta Selatan.
Dalam prosesnya, polisi dituduh melakukan kekerasan terhadap empat orang anak ini agar mau mengaku melakukan pembunuhan.
Mereka akhirnya terpaksa mengaku dan kasus itu naik ke Kejaksaan hingga akhirnya di sidangkan di Pengadilan.
Mereka kemudian divonis hakim bersalah dan harus mendekam di penjara anak Tangerang.
Belakangan, keempat anak ini dinyatakan tidak bersalah dalam peristiwa pembunuhan tersebut.
Mereka dinyatakan tidak bersalah dalam putusan Mahkamah Agung melalui putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016. Mereka bebas pada tahun 2013.
Selang tiga tahun kemudian.
LBH Jakarta kembali memperjuangkan hak ganti rugi atas penahanan tersebut.
"Berhak ganti kerugian karena kan ditangkap, ditahan padahal mereka kan nggak bersalah. Selama ini harusnya bisa kerja, gara - gara dipidana nggak kerja kan. Hal hal seperti ini yang dituntut," kata kata kuasa hukum keempat anak tersebut, bernama Oky Wiratama yang juga anggota LBH saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (17/7/2019).
Kerugian yang dituntut pihak mereka sebesar Rp 186.600.000 untuk per anak.
Biaya itu meliputi total kehilangan penghasilan sampai biaya makan selama di penjara.
Dengan demikian, total untuk keempatnya sebesar Rp 746.400.000.
Tidak hanya tuntuan secara materi, pihaknya juga meminta pihak Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI untuk mengakui semua kesalahanya karena salah menangkap orang dan melakukan tindak intimidasi.
Baca: Polisi Sebut Status Youtuber yang Dilaporkan Garuda Indonesia Masih sebagai Saksi
"Selama ini ditahan dia nggak sekolah dan lain-lain, itu yang harus dituntut. Dan pihak kepolisian harus menyatakan bahwa memang harus mengakui kalau mereka salah tangkap, gak fair dong," ucap dia.
Hingga pukul 12.20 WIB, sidang praperadilan dengan agenda pembacaan permohonan belum dimulai karena pihak termohon, yakni Kejaksaan Tinggi DKI belum hadir.
Sidang sempat ditunda
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menunda sidang gugatan ganti rugi yang diajukan empat pengamen korban salah tangkap, Rabu (17/7/2019).
Penundaan sidang lantaran kurangnya kelengkapan surat yang dibawa Lembaga Bantuan Hukum (LBH) selaku pihak pemohon.
Baca: 4 Pengamen Korban Salah Tangkap Tuntut Ganti Rugi Rp 746 Juta ke Polda Metro Jaya dan Kejati DKI
Majelis Hakim, Elfian menunda hingga kelengkapan surat dari LBH lengkap.
"Jadi sidang ditunda ke Senin, 22 Juli pada pukul 09.00 WIB," ujar Kuasa Hukum LBH, Oky Wiratama Siagian, pada Rabu (17/7/2019).
Oky menuturkan, keempat korban itu bisa melayangkan gugatan ganti rugi lantaran selama tiga tahun berada di balik jeruji besi.
"Klien kami dinyatakan tak bersalah di tingkat putusan MA. Maka ada hak mengganti kerugian. Klien kami selama ini jadi tidak sekolah, dan mata pencahariannya tidak bisa didapatkan selama di penjara," ungkapnya.
Oky menambahkan, total kerugian kliennya mencapai ratusan juta, baik materil maupun imateril.
"Kalau ditotal empat orang ini sekira Rp 70p juta. Ada materil dan imateril. Kerugian materil itu berupa penghasilan, kalau imateril itu berupa penyiksaan. Klien kami mengaku mengalami penyiksaan saat ditahan di Polda," lanjutnya.
Perhitungan imateril, terang Oky, merupakan kerugian fisik yang diterima para korban.
"Waktu mereka disiksa menyebabkan luka-luka. Kita menghitungnya berdasarkan kerugian apa yang menimbulkan, seperti kepala korban yang bermasalah," ujarnya.
Seperti yang diwartakan sebelumnya, Empat pengamen korban salah tangkap menuntut ganti rugi kepada Polda Metro Jaya dengan menggugat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Pasar Minggu.
Empat pengamen yang salah tangkap saat itu, masih berusia belasan tahun, Fikri (17), Fatahillah (12), Ucok (13), dan Pau (16).
Mereka beralasan semenjak dinyatakan tak bersalah pada tahun 2016 silam, belum mendapatkan ganti rugi atas kesalahan yang dilakukan polisi.
Kasus salah tangkap itu berawal pada tahun 2013, mereka berempat dinyatakan bersalah oleh kepolisian lantaran melakukan pembunuhan antar pengamen lain dengan motif berebut lapak pengamen di Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, kasus mereka kemudian dibawa menuju meja hijau.
Menurut Kuasa Hukum korban dari LBH Jakarta, Oky Wiratama Siagian, Mahkamah Agung memutuskan keempat korban tidak bersalah melalui putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016.
"Di Mahkamah Agung, putusannya menyatakan membebaskan keempat anak kecil ini. Nah, kami memberitahu kepada mereka, ketika putusannya bebas maka ada hak mereka yang bisa dituntut ganti kerugian. Dan udah ada mekanismenya dari PP 92 tahun 2015," ujarnya kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (17/7/2019).
Baca: Tjahjo Kumolo Sebut Sikap Wali Kota Tangerang Tak Etis Karena Rugikan Masyarakat
Oky melanjutkan keempat anak ini berhak untuk mendapatkan ganti rugi itu.
"Mereka enggak bersalah, sebenarnya mereka bisa kerja akhirnya gara-gara saya dipidana, enggak kerja kan, ini yang dituntut," tandasnya. (Kompas.com/Tribunnews.com)
Penulis : Rindi Nuris Velarosdela
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul : Digugat 4 Pengamen Rp 746 Juta, Kepolisian Merasa Tak Salah Tangkap