Cerita Para Pemulung Bertahan Hidup di Jakarta
Penghasilan yang pas-pasan dari hasil memulung membuat mereka terkadang mengharap derma di pinggir jalan.
Editor: Hasanudin Aco
Saat ditemui, Hasnah sedang merapikan hasil memulung di tengah bongkahan sampah.
Kedua tangannya sedang mengencangkan tali rafia yang diikat pada tumpukan kardus.
Janda anak tiga ini juga mengecek sampah yang tersimpan dalam karung goni miliknya.
Plastik dan kardus menjadi sumber pendapatan Hasnah di tengah kehidupan yang muram akibat pandemi Covid-19.
Selama pandemi, pendapatan warga RT 011 RW 009 Pondok Labu tersebut naik turun. Dalam sebulan, ia biasanya menimbang dua kali.
"Pendapatan rata-rata Rp 260 ribu sampai Rp 300 ribu sebulan. Paling gede segitu, kan saya keliling cuma pakai karung," ungkapnya saat ditemui TribunJakarta.com pada Senin (18/1/2021).
Hasnah belum lama ini menjadi seorang pemulung.
Dulu, perempuan beranak tiga ini tinggal mengontrak di kampung pemulung bersama suaminya.
Suaminya kala itu bekerja sebagai tukang sapu di Pasar Cipete, Cilandak, Jakarta Selatan sedangkan Hasnah menjadi ibu rumah tangga.
Namun, selepas suaminya tutup usia, Hasnah harus berjuang menghidupi diri sendiri serta anak bontotnya yang masih berusia 11 tahun.
Hasnah akhirnya memilih menjadi pemulung agar bisa menyambung nyawa keluarganya.
Ia memutuskan bekerja dengan Rubiyo (60), pengepul di Kampung Pemulung Pondok Labu. Hasnah pun dibebaskan biaya kontrak rumah. Ia dipinjami uang dari Rubiyo setiap hari untuk biaya makan.
Timbal baliknya, Hasnah berkewajiban menyetor sampah ke pelapak tersebut.
Hasil dari pungutan sampah yang dijualnya, ia ganti kepada Rubiyo.