Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sukamta: Pasal-pasal Multitafsir dalam UU ITE Ini Jelas Kemunduran Bagi Demokrasi

Semangat awal UU ITE di Indonesia adalah untuk menjaga ruang digital tetap bersih dan beretika, bukan seperti rimba belantara.

Editor: Toni Bramantoro
zoom-in Sukamta: Pasal-pasal Multitafsir dalam UU ITE Ini Jelas Kemunduran Bagi Demokrasi
fraksidpr.pks.id
Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), H. Sukamta, Ph. D mengatakan revisi UU ITE sejalan dengan pandangan partainya, karenanya Fraksi PKS menyambut baik dan sangat setuju atas rencana revisi UU ITE.

"Tapi pernyataan Presiden Jokowi jangan move politik kosong belaka. Presiden harus konsisten untuk merivisi UU ITE, tidak cukup dengan pedoman interpretasi," ungkap Sukamta saat menjadi pembicara di Webinar PWI 'Menyikapi Perubahan UU ITE', Rabu (10/3/2021).

Penggunaan UU ITE di masa Covid-19 dikatakan Sukamta semakin digencarkan dengan terbitnya surat telegram Kepala Polri bernomor ST/1100/IV/HUK.7.1/2020 tentang pemidanaan terhadap pelaku penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara pada April lalu. Telegram ini menjadi ‘alarm’ bagi jurnalis atas potensi meningkatnya ancaman kriminalisasi di tengah pandemi.

"Sejak disahkan 12 tahun lalu, UU ITE menjadi momok bagi jurnalis. Mengutip data SAFEnet, pemidanaan terhadap jurnalis dan media dengan UU ITE pada 2018 dan 2019 menjadi yang tertinggi. Kehadiran pasal-pasal Multitafsir dalam UU ITE ini jelas kemunduran bagi demokrasi dan bertolak belakang dengan semangat kebebasan pers yang yang telah dijamin dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers," urainya.

Webinar PWI Pusat Rabu
Suasana Webinar PWI Pusat Rabu

Semangat awal UU ITE di Indonesia adalah untuk menjaga ruang digital tetap bersih dan beretika, bukan seperti rimba belantara.

Namun seiring perjalanan waktu, UU ITE dianggap telah mencederai kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat.

Maka, semangat UU ITE untuk direvisi baik untuk dilakukan, karena ada hati yang harus dijaga, yakni “Hati Rakyat”.

BERITA REKOMENDASI

Dikatakannya, Pasal 27 ayat 1 tentang muatan asusila secara online. Dinilai bermasalah karena digunakan untuk menghukum korban pelecehan seksual. Sedangkan Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik, dinilai represi bagi masyarakat yang berbeda pendapat dan mengkritik pemerintah hingga aparat polisi.

Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian. Dinilai bermasalah karena tidak jelas batasan ujaran kebencian yang menyinggung SARA.

Pasal 29 tentang ancaman kekerasan. Pasal ini bermasalah karena dipakai untuk memidana orang yang mau melapor ke polisi.

"Pasal 40 ayat 2a mengatur tentang muatan yang dilarang. Pasal ini dinilai bermasalah karena hoax menjadi muatan yang digunakan dasar internet shutdown. Pasal 40 ayat 2b tentang pemutusan akses, dinilai bermasalah karena alasan penegasan pemerintah lebih diutamakan dibanding putusan pengadilan untuk internet shutdown, jelasnya.

Sementara itu, Pasal 45 ayat 3, diakuinya mengatur tentang ancaman penjara dari pencemaran nama baik. Pasal ini bermasalah karena dapat melakukan penahanan pada pelanggar UU saat masih dalam proses penyidikan.
Kasus tindak pidana siber dalam Angka.


Sedangkan Karopenmas Divis Humas Polri, Brigjen Pol Rusdi Hartono mengakui bahwa pada dasarnya perubahan atau revisi UU ITE bukan ranah kepolisian.

"Polri mencermati bagaimana jalannya UU ITE dan berlaku adil di masyarakat, Polri menegakkan hukum yang berhubungan dengan undang-undang bersangkutan," tuturnya.

Polri dikatakan Rusdi Hartono melakukan upaya bagaimana UU ITE bisa terjawab di tengah masyarakat, salah satunya ada surat edaran penegakan hukum yang berhubungan dengan UU ITE yang mengedepankan restorative justice

Webinar PWI Pusat Rabu   1
Webinar PWI Pusat rabu

"Apabila dalam proses mediasi perkara itu dapat diselesaikan maka dianggap selesai, ini kesepakatan. apabila proses mediasi itu berjalan dan tidak ditemukan kesepakatan maka tindak lanjut penyelidik tetap memproses laporan tersebut namun tidak dilakukan penahanan. itu demi memenuhi rasa keadilan di masyarakat," papar Rusdi Hartono.

"Tetapi masalah yang membuat perpecahan dan menggangu keamanan dan ketertiban di masyarakat, Polri tegas akan menindak kasus itu sesuai hukum berlaku. Polri tetap menjaga keberagaman kebinekaan itu sudah jelas," tandas Rusdi Hartono.

Nara sumber lain di webinar yang dibuka oleh Ketua PWI Pusat, Atal S Depari adalah Asep Warlan Yusuf, pakar hukum mengetengahkan 'Problematika UU ITE dan Upaya Menemukan Solusi Hukumnya' banyak mengulas masalah manfaat  hubungan Negara dengan warga negara yang demokratis.

"Rakyat kehilangan daya pikir sehat, pemerintah kehilangan akal, negara kehilangan harapan). Perkataan orang Belanda pada abad ke 18  ini, nampaknya masih relevan untuk diucap ulang pada era reformasi sekarang ini, yang memang persis rakyat dan pemerintah kita sedang dilanda kehilangan akal sehat dan harapan," katanya.

Webinar PWI Pusat     2
Webinar PWI Pusat, Rabu (10/3/2021)

Dengan demikian diakuinya melalui democratic civility (masyarakat demokratis yang berkeadaban)  yang menjunjung moralitas, maka good governance dan positive citizenry (kewargaan yang positif) akan dapat diwujudkan.

Hal ini sangat perlu dan penting sebagai prasyarat pokok dalam rangka mewujudkan negara hukum yang berkeadilan, negara demokrasi yang berkeadaban, dan bermuara pada negara kesejahteraan yang berkemakmuran secara merata.

Pembicara lain, Wawan H Purwanto, Deputi 7 BIN mengakui bahwa dunia maya banyak intrik dan perlu ditertibkan oleh karenanya langkah yang harus diambil ektra hati-hati.

"Pemerintah dan DPR telah menginisiasi lahirnya UU ITE (21/4/2008), dan 2016 DPRI merevisi karena dinilai membelenggu kebebasan berpendapat masyatakat, pemerintah menilai banyak masyarakat saling melapor," ujarnya.

Pembicara lain, Dr Ismail Fahmi Ph. D, yang merupakan pakar IT menjelaskan bahwa selama ini berbagai laporan dikelompokkan ke berbagai profesi, diantaranya profesi yg dilaporkan, 37,5 persen terlapor 69 adalah kelompok kritis seperti Jurnalis/Media (19), Aktivis (24), Dosen/Guru (19) dan buruh (7). Kemudian 56 persen lainnya, yang menjadi terlapor sebanyak 103 berstatus warga biasa.

"Sementara itu profesi yang melaporkan terdiri dari 68 persen, pelapor orang yang memiliki kekuasaan terdiri dari 42 persen merupakan pejabat publik, 22 persen kalangan profesi dan 4 persennya kalangan yang berpunya. sedangkan yang 23 persennya, pelapor berstatus sebagai warga biasa," jelas Ismali Fahmi yang juga Founder Media Kernels Indonesia.

Webinar yang mendapat perhatian dari berbagai kalangan profesi ini dimoderatori oleh Wina Armada, dan dibuka oleh Ketua Umum PWI Pusat Atal S Depari didampingi Sekjen PWI Pusat, Mirza Zulhadi, Wakil Sekjen Suprapto Sastro Atmojo dan Wakil Bendahara PWI Pusat, Dar Edy Yoga.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas