Viral Babi Ngepet, Ini Penjelasan Sejarawan
Fenomena babi ngepet,catatan sejarah dan tulisan sejarawan tak lepas dari latarbelakang krisis ekonomi yang mendorong orang untuk menciptakan
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA— Babi ngepet kembali menjadi pembahasan hangat di tengah masyarakat.
Warga Bedahan, Sawangan, Depok, Jawa Barat dihebohkan dengan temuan babi hutan yang diklaim sebagai "babi ngepet", Selasa (27/4/2021).
Laporan temuan babi ngepet pun membuat geger media sosial.
Sejatinya, viral babi ngepet bukan hal yang baru di telinga masyarakat Indonesia.
Lantas, bagaimana mitos "babi ngepet" bermula serta selalu berkaitan dengan pesugihan dan soal-soal uang?
Sejarawan muda alumnus Universiteit Leiden Ody Dwicahyo menjelaskan babi atau babi hutan yang dalam bahasa Jawa disebut celeng, bukan sesuatu yang jauh dengan masyarakat agraris seperti di Indonesia.
Bagi masyarakat agraris, kata dia, babi menjadi hama atau musuh bagi para petani.
Baca juga: 5 Tahun Nabung Dalam Celengan, Saat Dibongkar Warga Petarukan Butuh Sehari Semalam Menghitungnya
Karena itu babi menjadi diburu baik langsung oleh petani atau menggunakan hewan peliharaan lain seperti anjing.
“Saya ingin mengingatkan di dalam masyarakat yang agraris, babi itu kan hama.
Jadi dia itu sebelum berurusan dengan agama Islam saja, babi itu sudah sesuatu yang kalau datang itu langsung diusir terutama babi hutan atau celeng,” ujar Ody dalam Dialog Sejarah Historia.id: Riwayat Babi Ngepet, di Channel YouTube Historia, Jumat (30/4/2021).
“Kalau mau melihat fenomena babi ngepet dalam beberapa tahun terakhir, ngak semua yang ditangkap itu babi juga, ada anjing.
Jadi mungkin bukan konsep-konsep zoologi, tetapi lebih ke konsep kultural, bahwa babi itu adalah sesuatu yang kalau datang perlu diusir.
Jadi diangap musuh, terutama di masyarakat agraris,” jelasnya.
Baca juga: Rafathar Minta Dibelikan Mobil, Raffi Ahmad Terkejut: Uangnya Mana? Pakai Celengan Aa Aja
Lebih lanjut terkait fenomena babi ngepet, dia menjelaskan, catatan sejarah dan tulisan para sejarawan tidak lepas dari latar belakang krisis ekonomi yang bisa mendorong orang untuk menciptakan sejumlah hal.
Pertama, sesuatu dijadikan pegangan, seperti jimat, batu akik, dan di masa modern ada ikan louhan, tanaman gelombang cinta dan lainnya.
“Ketika ada ketidakpastian, orang butuh pegangan dengan sesuatu yang dipuja,” ucapnya.
Kedua, ada yang disalahkan atau dikambing-hitamkan akibat adanya ketimpangan sosial ekonomi, seperti babi ngepet atau pesugian.
Di sinilah, mitos-mitos itu diciptakan.
Dia juga melihat ada ambisi-ambisi ingin naik kelas ekonomi di balik pesugihan dan babi ngepet, misalnya.
“Pesugihan, babi ngepet itu jalan alternatif agar bisa naik kelas oleh sistem kolonial itu hanya dua, kalau lahir sebagai pangeran atau sebagai bangsawan,” jelasnya.
“Tetapi itu kan tidak semua orang bisa karena itu ada cara naik kelas alternatif melalui cara-cara pesugian cara memperkaya diri sendiri. Banyak harta yang bisa membuat naik kelas,” ucapnya.
Babi ngepet ini, kata dia, adalah salah satu cara ilmu hitam untuk menggapai kekayaan.
“Catatan yang penting, apapun itu hantu, siluman, ilmu hitam itu adalah sesuatu yang tidak pernah terlepas dari konteks masyarakat sekitarnya, seperti hewannya,” jelasnya.
Fenomena babi ngepet juga dia melihat hanya berkembang di sejumlah wilayah di Jawa.