Atal S Depari: Hari Pers Nasional 2022 Peduli Terhadap Masa Depan Indonesia Yang Lebih Baik
Ancaman krisis pasokan energi menjadi isu penting lainnya yang diangkat dalam peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2022.
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ancaman krisis pasokan energi menjadi isu penting lainnya yang diangkat dalam peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2022 mendatang.
Dua tahun terakhir ini kampanye transisi energi menuju netral karbon atau net zero emission sebagaimana target Indonesia di tahun 2060 terus digaungkan.
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Atal S Depari menegaskan, HPN memang bukan sekadar ajang silaturahmi insan pers tingkat nasional, namun sekaligus juga ajang unjuk kepedulian terhadap masa depan Indonesia yang lebih baik.
"Setiap tahun dalam momentum peringatan Hari Pers Nasional (HPN), kami selaku panitia penyelenggara selalu termotivasi untuk 'berbuat sesuatu', memberikan kontribusi kepada bangsa dan negara," ungkap Atal S Depari saat membuka Focus Group Discuss Pertambangan Seri I yang digelar hybrid dari Sekretariat PWI Pusat, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin (10/1/2022).
Salah satu kontribusi itu dalam bentuk pemikiran dan usulan solusi terhadap berbagai masalah aktual, terutama yang bersinggungan dengan kehidupan rakyat banyak.
Atal menyebut, setidaknya karena dua alasan isu di sektor energi dan pertambangan sumber daya energi diangkat dalam momentum HPN 2022.
"Pertama, Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan sering menyampaikan pernyataan terkait urgensi melakukan transisi energi dengan skenario dan penghitungan detail, yang terutama dipicu oleh perubahan iklim (climate change)," ujarnya.
Masih mengutip pidato Presiden Jokowi, kata Atal, skenario dan kalkulasi detail diperlukan karena permasalahan seputar transisi energi akan dibawa dalam pembahasan pada forum G20 bulan Oktober 2022 di Bali, di mana presidensi forum tersebut jatuh di tangan Indonesia.
"Presiden Jokowi mengharapkan, dalam G20 di Bali nanti pembahasan mengenai skenario transisi energi (dari energi fosil ke energi terbarukan) dapat dilakukan dengan lebih jelas dan terukur," tambah Atal.
Alasan kedua, lanjut Atal, berkenaan dengan peringatan HPN yang tahun ini dipusatkan di Kendari, Sulawesi Tenggara, pihaknya telah beberapa kali terlibat dalam diskusi dengan jajaran pemerintah daerah.
"Dari situ kami menangkap ada 'kegelisahan' dari pemerintah daerah – khususnya daerah penghasil tambang – sehubungan dengan terbitnya UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 yang merupakan revisi dari UU Nomor 4 Tahun 2009," kata Atal.
Kegelisahan itu muncul lantaran dalam UU Minerba yang baru, pemerintah daerah tidak lagi masuk dalam konteks penguasaan pertambangan minerba. Sebab, kewenangan itu telah ditarik sehingga tersentralisasi ke pemerintah pusat.
"Kalau begitu, ini pertanyaan mereka: lalu apa dong peran, kewenangan, dan hak pemerintah daerah, yang notabene merupakan 'pemilik' area pertambangan di daerah? Gue dapet apa?" ucap Atal.
Atal menyadari masalah transisi energi maupun pengelolaan pertambangan Indonesia pasca-terbitnya UU Minerba yang baru, bukan masalah sederhana.
"Haqul yakin, kalau ahli-ahlinya sudah 'turun gunung' akan lahir banyak pemikiran cerdas dan solutif yang bermanfaat untuk mewujudkan Indonesia Hijau dengan keanekaragaman potensi ESDM yang dimiliki," katanya.
Rencananya, beber Atal, butir-butir rekomendasi yang lahir sebagai hasil dari FGD pertambangan hari ini di Jakarta dan seminar nasional di Kendari bulan Februari nanti, akan diserahkan langsung kepada Presiden Jokowi pada puncak peringatan HPN 9 Februari, sebagai masukan dalam pengambilan kebijakan.
"Sekali lagi, penghargaan dan apresiasi tinggi kami sampaikan kepada Bapak, Ibu, para pendekar di dunia energi dan pertambangan, yang telah mengalokasikan waktu, tenaga, dan pikiran untuk suksesnya hajatan FGD dan seminar nasional ini," tandas Atal S Depari.
Mengawali FGD, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Dadan Kusdiana memaparkan tentang capaian pemanfaatan EBT secara nasional. Tahun 2021 lalu masih pada kisaran 11,2 persen.
"Jadi tidak bergerak, sama dengan capaian di 2020. Secara volume ada tambahan relatif cukup baik dari sisi pembangkit ada sekitar 500-474 megawatt di masa pandemi," tuturnya.
Dadan Kusdiana menyampaikan, saat ini pemerintah tengah menyelesaikan aturan turunan dari PP 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, di mana salah satunya di Kementerian ESDM.
"Kita akan menerapkan per 1 April sejalan dengan UU Pajak malah di situ akan mulai diterapkan pajak karbon dikombinasikan dengan karbon trading," jelasnya.
Dadan Kusdiana pun mengingatkan pesan Presiden Jokowi bahwa pengembangan ekonomi hijau dan transisi ke energi terbarukan atau renewable energy telah menjadi komitmen bersama. Jokowi juga menekankan transisi energi ini sesuatu hal yang baik dan positif karena akan diikuti dengan tumbuhnya investasi, khususnya melalui pengembangan biofuel, energi baterai lithium dan juga kendaraan listrik.
"Masih kita ingat barangkali pidato beliau tanggal 16 Agustus 2021 di DPR/MPR disampaikan secara jelas bahwa transformasi menuju EBT serta akselerasi ekonomi berbasis teknologi hijau ini menjadi perubahan penting dalam ekonomi kita," urainya.
Komitmen Indonesia dalam penurunan Gas Rumah Kaca (GRK) juga sesuai amanat UU energi dan UU Ketenagalistrikan, penyediaan dan pemanfaatan EBT harus ditingkatkan.
"Kami mengikuti dari dekat proses insiatif DPR untuk menyusun RUU untuk EBT. Baru minggu lalu kami melakukan FGD dengan Pak Menteri ESDM mendiskusikan detail dan komprehensif draf dari RUU EBT," jelas Dadan.