Temuan Balita Gizi Buruk di Jakarta, YAICI Soroti Rendahnya Pemahaman Masyarakat Tentang Gizi
Persoalan gizi buruk di DKI Jakarta bukan sebatas masalah ekonomi, melainkan pemahaman masyarakat terhadap pemenuhan gizi keluarga masih rendah.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seorang balita berusia 2 tahun di Kalideres, Jakarta Barat ditemukan dalam kondisi gizi buruk.
Berdasarkan pengakuan sang ayah, putranya sempat terjatuh saat usia 1,5 tahun.
Sejak itu, nafsu makan anaknya menurun yang diikuti dengan penurunan berat badan. Kini, hanya tersisa kulit pembalut tulang, bahkan berat badannya yang semula 8 kilogram, sekarang hanya 1 kilogram.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menyoroti seharusnya persoalan gizi buruk tidak terulang di Jakarta, karena pemerintah daerah memiliki sejumlah program bantuan kepada anak dan balita untuk memenuhi asupan gizinya.
Baca juga: Sajikan Jus Buah atau Soft Drink Saat Lebaran? Ini Kata Dokter Spesialis Gizi
Di sisi lain, Jakarta juga ditopang oleh anggaran pendapatan dan belanja (APBD) paling besar dibanding daerah lain mencapai Rp 80 triliun lebih.
Ketua Advokasi Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Idonesia (YAICI) Yuli Supriati menangakui, persoalan gizi buruk di DKI Jakarta bukan sebatas masalah ekonomi, melainkan pemahaman masyarakat akan gizi keluarga masih rendah.
“Masih banyak masyarakat yang merasa malas datang ke posyandu," katanya, Kamis (12/5/2022).
Apalagi masa pandemi yang kita alami selama dua tahun kemarin, banyak aktifitas pemantauan kesehatan masyarakat terhambat.
"Sebenarnya jemput bola lebih efektif karena saat mendapati masyarakat dengan anak yang mengalami gangguan kesehatan, kader Posyandu bisa segera menambil Tindakan pencegahan,” kata Yuli.
Aktivis kesehatan ini juga menyoroti kebiasaan dan gaya hidup masyarakat yang lebih menyukai sesuatu yang instan dan praktis.
“Susu kental manis contohnya, masih banyak ditemui orang tua yang memberikan anak terutama balita susu kental manis sebagai minuman susu.
Alasannya selain memang harganya ekonomis, susu jenis ini juga praktis dan disukai anak-anak. Padahal minim kandungan gizi,” katanya.
Yuli berharap pemerintah daerah dan dinas terkait dapat lebih meningkatkan pemantauan kondisi gizi masyarakat.
“Penting untuk mengetahui apa yang dikonsumsi masyarakat. Apakah mencukupi kebutuhan proteinnya, vitaminnya, apakah bayi mendapat ASI, jenis susu apa yang dikonsumsi anak, pola konsumsi masyarakat ini setidaknya harus diketahui. Jangan sampai gizi buruk ini baru diketahui setelah terjadi, setelah menjadi stunting sehingga sudah sulit untuk di perbaiki,” katanya.
Dokter Spsialis Anak, dr. Cut Nurul Hafifah, Sp. A (K) mengatakan, anak-anak usia 3 sampai 6 tahun di antara usia ini adalah periode emas yaitu periode 1000 hari pertama kehidupan (HPK), kenapa periode ini adalah periode yang sangat diagung-agungkan atau digaungkan karena di sini terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat nya mulai dari dalam kandungan usia 1 tahun hingga usia 2 tahun itu menjadi modal dasar.
Oleh karena itu, pemenuhan gizi sangat penting.
“Sumber protein hewani harus ada setiap hari. Sumber protein dan lemak yang harus ada protein hewaninya plus ditambah dengan sayur dalam jumlah secukupnya,” ungkapnya.
Cut Nurul menambahkan, kalau kita ingin anak-anak kita tinggi adalah harus ada protein hewani, seperti susu, ikan, daging dan telur.